Kita sering kali mendengar pernyataan "yang
penting sudah usaha, masalah hasil itu urusan Yang Diatas", atau
pernyataan lain yang senada. Bahkan tak jarang mulut kita sendiri pun berujar
penyataan tersebut. ketika upaya yang telah kita lakukan dirasa maksimal, maka
tinggal menunggu akan hasil yang kadang sesuai dengan harapan, bahkan kadang
melebihi ekspektasi. tapi tak jarang pula hasil yang didapat (dirasa) tidak
sesuai dengan jerih payah yang kita lakukan. kemudian membuat kita seringkali
mengeluh. menyalahkan diri sendiri, kadang menyalahkan oranglain, bahkan lebih
parah lagi, menyalahkan Tuhan dengan justifikasi bahwa Ia tidak adil,
tidak mengerti upaya keras hambanya.
dalam falsafah jawa, dikenal istilah nrimo ing pandum. salah satu falsafah yang sampai saat ini masih dipegang erat dalam budaya masyarakat jawa, bahkan mungkin juga masyarakat lain pada umumnya yang terinternalisasi dengan istilah konseptual lainnya yang sepadan dengan istilah nrimo ing pandum.
Nrimo artinya menerima, sedangkan pandum artinya pemberian. Jadi Nrimo ing Pandum memiliki arti menerima segala pemberian pada adanya tanpa menuntut, lebih luas lagi bisa juga berarti ikhlas atas apa yang kita terima dalam kehidupan atau “legowo” dalam menghadapi setiap lika-liku dalam hidup. Konsep ini menjadi salah satu falsafah Jawa paling populer dimana masih sering digunakan oleh beberapa masyarakat. Pengaplikasian dalam kehidupan sosial “nrimo ing pandum” bisa berarti bermurah hati dengan sesama, dalam ekonomi dapat pula dikatakan sebagai rasa cukup dengan kekayaan yang dimiliki, dan masih bisa lebih luas lagi “nrimo ing pandum” dapat diaplikasikan.
Sebagian ilmuwan sosial menganggap
konsep ini sebagai salah satu penyebab rendahnya etos kerja masyarakat Jawa.
Sifat masyarakat yang menerima segala sesuatu apa adanya menyebabkan masyarakat
tidak memiliki motivasi untuk bekerja.Sehingga masyarakat hanya diam saja
menunggu sebuah pemberian tanpa melakukan sebuah usaha.
Asumsi ini muncul
mengingat teori-teori Psikologi dewasa ini menjelaskan bahwa setiap tindakan
manusia berasal dari kepentingan diri mereka sendiri. Mulai dari pendekatan
psikoanalisis yang beranggapan bahwa manusia bertingkah laku karena dorongan
dari dalam diri yang disebut Id hingga teori-teori humanistik yang
menggambarkan manusia seharusnya menjadi diri sendiri seperti yang individu
tersebut inginkan. Bahkan perilaku prososial pun dianggap sebagai upaya
pengharapan akan balasan perilaku ynag sama dari orang lain.
Islam mengenal konsep
Qadha dan Qadar yaitu adanya ketetapan-ketetapan yang telah diatur oleh Allah
SWT. Dalam bahasa mudah dapat kita katakan bahwa di dunia ini ada hal-hal
tertentu yang diluar jangkauan kemampuan kita.
Untuk mengatasi
masalah tersebut dikenallah konsep tawakal dalam Islam. Tawakal artinya
berserah diri terhadap Allah SWT. Sehingga setiap ketetapan yang ada harus kita
terima dengan lapang hati karena kita telah menyerahkan segala urusan kepada
Allah SWT. Sekilas konsep ini mirip dengan konsep Nrimo ing Pandum.
tapi agaknya, istilah
Qonaah lebih dapat kita padan kan dengan falsafah nerimo ing pandhum
Kita perlu menempatkan istilah nerimo ing pandhum ini dalam konteks yang tepat. kita tempatkan falsafah ini dalam rangka ketika kita telah benar-benar berusaha sekuat tenaga, semaksimal mungkin, titik kulminasi ikhtiar. maka setelah ikhtiar yang telah dilakukan, kita menyerahkan hasil dari jerih payah kita pada yang maha kuasa. ini berarti kita mengakui bahwa ada kekuatan diluar dari kesanggupan manusia yang juga bekerja, atau dimensi transendental.
salah satu falsafah yang juga mungkin bisa kita
padankan dengan nerimo ing pandum adalah sebuah kisah dari yunani kuno. Ada
manusia dikutuk oleh dewa. dia harus mendorong batu keatas bukit, tapi setiap
kali dia mau sampai keatas bukit, dia akan jatuh kebawah lagi, dan dia akan
terus mendorong batu itu sampai akhir zaman. dan itulah kutukan manusia.
gambaran itu ingin mendeskripsikan, bahwa kita manusia selalu merasa bahwa kita
mampu, tapi sebenarnya di titik kita akan sampai di tujuan akhir, kita pasti
akan gagal terus. cerita itu bisa dibaca dengan dua cara. cara pertama, kasihan
sekali. tapi cara kedua, dan ini yang membuat kita menjadi lebih optimis, bahwa
justru itulah yng membut kita menjadi manusia yang sebenarnya. bahwa kita
setiap hari berjuang, kita setiap hari berusaha. bahwa tujuan akhir itu hanya
satu. kematian itu sendiri.
ini menunjukkan bahwa wilayah manusia adalah wilayah
usaha, ikhtiar, perjuangan. wilayah hasil adalah wilayah transendental. tapi
untuk tetap membangun optimisme, prinsip "hasil tidak pernah menghianati
proses" perlu kita pegang. sehingga dalam penerimaan atas hasil upaya
jerih payah kita, tetap terbangun optimisme akan hasil yang maksimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar