image source : republika.co.id
BIROKRASI PATRIMONIAL DI INDONESIA : STUDI KASUS DI KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN
Pendahuluan
Dalam
sebuah negara dibutuhkan adanya sistem yang dapat menjadi penggerak bagi
pemerintah untuk dapat menjalankan tugas-tugas kepemerintahan demi terwujudnya
negara yang sejahtera, dan mampu memberikan jaminan kepada masyarakat akan
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sebagai warga negara. birokrasi menjadi
jawaban atas persoalan bagaimana negara dapat memberikan pelayanan kepada warga
negara untuk dapat mencapai kesejahteraan. Birokrasi menjadi bagian penting
dalam setiap jalannya roda pemerintahan dalam sebuah negara. kegiatan-kegiatan
dalam birokrasi membuat negara memiliki keteraturan dalam menjalankan roda
pemerintahan.
Indonesia
sebagai sebuah negara yang memiliki beragam budaya masyarakat, membuatnya
memiliki banyak dinamika dalam birokrasi pemerintahan. Birokrasi yang ada di
Indonesia juga memuat aspek bagaimana individu ataupun kelompok dapat masuk
dalam sistem tersebut. sehingga dengan masuknya seseorang dalam sistem
birokrasi membuatnya mendapatkan kekuasaan dan berupaya untuk mempertahankan
kekuasaannya.
Status
sebagai bangsawan memberikan peluang besar kepada seseorang untuk mendapatkan
kekuasaan didalam birokrasi. Dengan status itu juga membuatnya dapat
melanggengkan kekuasaan dengan mendapatkan kepatuhan orang-orang yang ada
disekitarnya untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan yang dimiliki. Inilah
yang kemudian menjadikan budaya patrimonial dalam birokrasi dapat tumbuh dan
berkembang.
Dalam tulisan ini akan
dipaparkan bagaimana birokrasi patrimonial dijalankan di daerah Wajo yang
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Walaupun pemaparan
ini tidak dapat meng-generalisir bahwa birokrasi di semua daerah di Indonesia
adalah birokrasi patrimonial, namun ini menggambarkan bahwa di Indonesia masih
terdapat sistem birokrasi patrimonial yang bertahan hingga saat ini.
Birokrasi & Birokrasi
Patrimonial
Menurut
Weber, tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau
administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi
dijalankan dalam cara-cara yang rasional.[1] birokrasi dalam perspektif Weber banyak
diartikan sebagai fungsi sebuah biro.suatu biro merupakan jawaban yang rasional
terhadap serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Birokrasi merupakan sarana
untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. untuk itu model birokrasi Weber
ini dipahami sebagai sebuah mesin yang disiapkan untuk menjalankan dan
mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. setiap pejabat pemerintah mempunyai tugas
dan tanggungjawabnya masing-masing dan harus menjalankannya sesuai dengan
prosedur yang telah ditetapkan.
Karl
Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi filosofi
Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara ( birokrasi )
sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan
masyarakatnya. Konsep Marx tentang
birokrasi menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi memihak pada kekuatan politik
yang memerintah. Sedangkan Hegel sebaliknya berada di tengah-tengah sebagai
mediator yang menghubungkan antara negara dengan masyarakat.[2]
Patrimonalisme sendiri
merujuk pada sentralisasi kekuasaan yang
berpusat pada penguasa perseorangan
tertentu yang mengakumulasikan
kekuasaan, sedangkan yang lain
mengidentifikasikan kepentingannya. Penguasa membagikan sumber daya
kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh besar di
masyarakat untuk menjaga keberlangsungan
dan stabilitas kekuasaannya. Sementara, bagi pihak yang berkepentingan tersebut
memiliki Aksesibilitas dalam mencari pelindungan politis maupun ekonomi dalam
struktur kekuasaan tersebut. Hubungan tersebut berlangsung dalam pertukaran
keuntungan yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak.
Penguasa membagikan
sumber daya kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki
pengaruh besar di masyarakat untuk menjaga keberlangsungan dan stabilitas
kekuasaannya.[3]
Sementara, bagi pihak yang berkepentingan tersebut memiliki aksesibilitas dalam mencari pelindungan politis maupun
ekonomi dalam struktur kekuasaan tersebut. Hubungan tersebut berlangsung dalam pertukaran
keuntungan yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak.
James C. Scott menilai
kekuasaan patrimonial yang berlangsung di Indonesia memiliki akar antropologis
yang kuat diwujudkan dalam 'patron-client' atau 'solidaritas vertikal' dapat
dilihat dari beberapa hal, diantaranya adalah adanya hubungan antara
client-hamba dengan patron-tuan yang diibaratkan sebagai suatu hubungan
pertukaran yang vertikal, dimana perubahan perubahan selalu berada di bawah
legitimasi kaum elit.[4]
Terbentuknya relasi tersebut lebih didasarkan pada ketidaksamaan dan fleksibilitas
yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. Oleh karena itulah,
pola internalisasi nilai dan norma penguasa diterima meluas sehingga timbullah
kekuasaan yang hegemonik.
Beberapa karakter dari
birokrasi patrimonial itu sendiri sebagai berikut:
·
Adanya hubungan timbal balik antara
client-hamba dengan patron-tuan. Hubungan ini bersifat saling menguntungkan
satu sama lainnya. sehingga terjalin sebuah harmonisasi yang dapat bertahan
dalam waktu yang panjang.
·
Birokrasi patrimonial adalah bagian dari
birokrasi tradisional. Ini dapat dilihat dari bagaimana sistem birokrasi
masyarakat tradisional yang sangat patuh terhadap para birokrat. Kepatuhan ini
terjadi karena adanya sistem feodalisme dalam masyarakat. Sehingga masyarakat
memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
·
Mematuhi pemimipin, ini menjadi sebuah
keniscayaan dalam birokrasi patrimonial. Kharismatik seorang pemimpin dapat
membuat jajaran yang ada dibawahnya memiliki kepatuhan terhadap dirinya.
·
Adanya kecenderungan untuk
mempertukarkan sumberdaya. Ini terjadi karena adanya hubungan yang terjadi
antara client dengan patron nya seperti dijelaskan diatas. Sumberdaya yang
dipertukarkan dapat berupa sumberdaya ekonomi dan sumberdaya politik yang
bentuknya beragam.
Melihat birokrasi
patrimonial di Indonesia, dapat dilihat sejak berdirinya kerajaan-kerajaan di
nusantara. Budaya patrimonial yang dibawa oleh kerajaan-kerajaan di nusantara
ini pada akhirnya mempengaruhi birokrasi di Indonesia. Adanya kepatuhan dan
ketundukan para jajaran birokrat kerajaan terhadap atasan-atasannya, juga
didukung dengan adanya perlindungan atasan terhadap bawahannya dalam birokrasi
membuat perilaku tersebut membudaya dalam birokrasi Indonesia di masa sekarang
ini.
Birokrasi patrimonial
di Indonesia bisa dilihat dari bagaimana para elit-elit lokal menguasai
birokrasi dan berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Sumberdaya yang
dimiliki dan cara-cara dalam mengelola sumberdaya tersebut membuatnya dapat
bertahan atas kekuasaannya dalam birokrasi. Salah satu sumberdaya yang dapat
dimanfaatkan adalah status sebagai bangsawan yang membuatnya memiliki kharisma
sebagai seseorang yang dianggap harus dihormati.
Status sebagai
bangsawan membuat seseorang dapat bergerak lebih leluasa untuk mempengaruhi
birokrasi dan berusaha mengangkat saudara-saudaranya yang juga berstatus
sebagai bangsawan kedalam jabatan birokrasi. Pengangkatan saudara kedalam tubuh
birokrasi ini juga nantinya akan membuatnya memiliki dukungan untuk
mempertahankan kekuasaannya dalam birokrasi. Penempatan pada posisi-posisi
strategis juga akan membuat pola birokrasi patrimonial ini akan semakin
tertanam. Status sebagai bangsawan dan status sebagai pejabat penting dalam
birokrasi membuatnya dapat dengan mudah mendapatkan kepatuhan atas
jajaran-jajaran dibawahnya. Tentunya ada hubungan tersebut bersifat timbal
balik dengan mempertukarkan sumberdaya sehingga kedua pihak sama-sama
diuntungkan.
Birokrasi Patrimonial di Kabupaten
Wajo, Sulawesi Selatan[5]
Birokrasi di Kabupaten
wajo menunjukkan bahwa pamong praja (aparat pemerintahan) telah mejadi
penunjang kaum bangsawan setempat untuk tetap bertahan dalam birokrasi
pemerintahan yang berkembang secara turun temurun sejak masa kolonial hingga
era Reformasi.
Pada akhir tahun
1980-an, seorang politisi senior Wajo yang memiliki latar belakang militer
berusaha untuk mempertahankan eksistensi kaum bangsawan dalam birokrasi pemerintahan.
Tentu ini juga untuk menunjang karirnya hingga nanti pada akhirnya menduduki
posisi sebagai bupati kabupaten Wajo. Puang, inilah istilah yang digunakan
untuk menyebut orang Bugis yang masih berdarah bangsawan. Puang dilahirkan di
Sengkang pada tahun 1942 dari keluarga bangsawan. Setelah lulus SMA pada tahun
1965 dia masuk ke angkatan darat dan mulai merintis karier pemerintahan di
Wajo, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1995 dia memperoleh kenaikan pangkat menjadi
kolonel. Meskupin begitu, Puang juga sudah memulai karier politiknya pada tahun
1987 dengan masuk Golkar sebagai anggota Dewan Penasehat Golkar. Pada tahun
yang sama dia diangkat menjadi anggota DPRD Wajo. Tahun 1993 dia diangkat
sebagai pemimpin cabang daerah Golkar dan ketua DPRD Wajo, jabatan ini
diembannya hingga tahun 2004 ketika akhirnya diangkat sebagai kepala daerah.
Meskipun Puang
memperoleh jabatan-jabatan tersebut berkat masuk militer dan melalui Golkar,
dia juga menggunakan dan menggalang jaringan dari para jaringan keluarga yang
berstatus bangsawan. Dengan posisi kuat yang dimiliki, ia menunjuk kerabat
untuk menduduki jabatan-jabatan birokrasi yang strategis dan menguntungkan.
Dengan jalur Jati (jalur atau arah jalan yang mengacu ke jalan Jati, jalan
tempat rumah dinas ketua DPRD berada) anggota-anggota keluarga dan
kerabat-kerabatnya dengan mudah mendapatkan jabatan dan kenaikan pangkat, yang
pada akhirnya muncul sebagai birokrat-birokrat yang berkuasa.
Pada tahun 1998, saat
Puang menjadi ketua DPRD, dia mengadu nasib untuk meraih jabatan bupati namun
dalam pemilihan dikalahkan oleh seorang anggota Golkar yang bukan dari golongan
bangsawan dan didukung secara finansial oleh pemerintah pusat. Bupati yang baru
terpilih ini tidak dapat berperan besar bagi kabupaten Wajo, karena dia
akhirnya berada dibawah bayangan sang Puang. Meskipun kalah dalam pemilihan,
namun pada rentang tahun 1998-2004 Puang berusaha memperkuat posisinya karena
birokrat pendukungnya yang masih kerabat semakin banyak dan menempati posisi
yang strategis. Beberapa jabatan kepala bagian yang dianggap strategis di
dinas-dinas pemerintahan, camat, dan lurah diangkat dengan memanfaatkan
kekuasaan yang dimiliki oleh Puang dan tentunya melalui jalur Jati.
Karena kekuasaannya
semakin besar, banyak pemuka-pemuka di Wajo menyatakan bahwa mereka masih
memiliki ikatan keluarga dengan Puang. Posisi-posisi penting dibagi-bagikan
kepada para kerabat bangsawanannya dan mereka yang dekat dan loyal kepadanya.
Tentu ini juga menggunakan jaulr-jalur yang tidak resmi, namun dengan kekuasaan
yang dimilikinya membuat itu menjadi hal yang mudah baginya.
Kekuasaan Puang
diperkuat melalui anggota kerabat dan kroni dalam pemerintahan, dari tingkat
kabupaten sampai ke tingkat desa, maupun di parlemen. sehingga mencapai titik
hegemoni. Dengan kekuatan besar yang dimilikinya akhirnya Puang menduduki
posisi tertinggi sebagai Kepala daerah setelah pada tahun 2004 dipilih oleh
anggota-anggota parlemen tepatnya empat bulan sebelum pemilu april 2004. Inilah
akumulasi dari berbagai pengutan posisi Puang yang dibangunnya dalam tubuh
birokrasi pada akhirnya mengantarkannya untuk duduk sebagai kepala daerah
kabupaten wajo.
Melihat usaha yang
dilakukan oleh Puang dalam memulai kariernya di pemerintahan dan politik sejak
bergabung sebagai anggota militer sampai dengan akhirnya duduk sebagai kepala
daerah di kabupaten Wajo, memang menjadi gambaran bagaimana birokrasi
patrimonial bekerja dalam pemerintah. Kemudian status yang dimiliki oleh Puang
sebagai seorang bangsawan membuatnya semakin mendapatkan kemudahan dalam
mengatur berbagai hal yang dapat memperkuat posisinya.
Dengan penempatan
posisi-posisi kerabat yang sangat strategis dalam birokrasi pemerintahan
membuat kepatuhan orang-orang tersebut semakin besar terhadap Puang. Dan pada
akhirnya menjadi basis dukungan bagi Puang dalam perjalanannya menuju kursi
kepala daerah.
Birokrasi yang telah
dikuasai oleh Puang, membuat orang-orang didalamnya patuh terhadap Puang, ini
terjadi karena adanya hubungan yang saling menguntungkan antara kerabat
keluarganya dan orang-orang yang dekat dengannya dengan sang Puang. Puang mampu
memberikan jabatan-jabatan strategis kepada kerabat dan orang-orang
terdekatnya, dengan jabatan tersebut mampu memberikan peluang-peluang lahan
‘basah’. Disisi lain, kerabat dan orang-orang yang telah duduk di jabatan
birokrasi memberikan dukungannya terhadap penguatan posisi Puang sebagai orang
yang berpengaruh bagi kabupaten Wajo, sehingga pada akhirnya menjadi kepala
daerah kabupaten Wajo.
Penutup
Jaringan keluarga
bangsawan dalam birokrasi dapat membentuk sebuah sistem birokrasi patrimonial.
Relasi yang terjalin dengan sinergisitas antara client dengan patronnya dalam
birokrasi semata-mata untuk memperkuat kekuasaan patrimonialisme yang coba
dibangun oleh Puang sebagai seorang yang berasal dari keluarga bangsawan.
Sehingga jaringan kekeluargaan dapat menjadi penopang baginya untuk tetap
menjaga eksistensi dalam birokrasi maupun perpolitikan di kabupaten Wajo.
Birokrasi yang banyak
dipengaruhi oleh Puang pada akhirnya semakin memberikan dukungan terhadap
tujuannya untuk menduduki kursi kepala daerah. Pertukaran sumberdaya yang
dilakukan oleh Puang dengan keluarga dan kerabat rupanya memberikan pengaruh
terhadap penguatan dukungan kepadanya. Puang memberikan posisi-posisi strategis
dalam birokrasi kepada keluarga dan kerabat, sedangkan dia mendapatkan
penguatan pengaruh dan dukungan untuk mencapai jabatan kepala daerah.
Dari penjelasan singkat
mengenai kondisi birokrasi di kabupaten Wajo ini menunjukkan bahwa birokrasi di
Indonesia masih ditemui sebuah sistem birokrasi patrimonial. Birokrasi
patrimonial ini berkembang dengan adanya kharisma seseorang yang berstatus
sebagai bangsawan dan mampu menggerakkan sumberdaya untuk dapat meraih
kekuasaan. Namun demikian, tidak semua birokrasi di daerah-daerah di Indonesia
bernafaskan patrimonialisme yang ditopang oleh orang-orang berstatus sebagai
keluarga bangsawan. Karena disetiap daerah tentu memiliki dinamikanya
masing-masing sesuai dengan kondisi daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
- Jati, Wasisto Raharjo, 2012, Jurnal Volume 8 No.2 : Kultur Birokrasi Patrimonialisme dalam Pemerintah Proinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Jurnal Borneo Administrator.
- Nordholt, Henk Schulte, dan Gerry van Klinken, 2007, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia. ( Sub Bab tentang: Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan. Oleh Andi Faisal Bakti).
- Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi & Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1]. Miftah Thoha, Birokrasi & Politik di Indonesia, 2003, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2003, hal.16.
[3] . Wasisto Raharjo Jati, Jurnal Volume 8 No.2 : Kultur Birokrasi Patrimonialisme dalam
Pemerintah Proinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012,Jurnal Borneo
Administrator, Yogyakarta, hal.141.
[4] . Wasisto Raharjo Jati, ibid,
hal.142
[5]. Sub bab Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan (oleh
Andi Faisal Bakti). Dalam buku Politik Lokal di Indonesia oleh Henk Schulte Nordholt, dan Gerry
van Klinken, 2007, JakartaKITLV dan
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.491-504.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar