Breaking News

Kamis, 15 Desember 2016

Sedikit ber-Sastra


Aku…
Adalah orang yang tak pernah mengenal cinta.
Namun, berkat hadirmu…
Keinginan tuk bangun cinta hadir begitu saja.
Aku,
Adalah orang yang tak mengerti bagaimana caranya tuk dapat kekasih hati,
Namun, semenjak kehadiranmu itu, sudah begitu banyak do’a yang aku titipi pada Ilahi.
Kumohon, jangan kau tersenyum padaku…
Semakin sakit rasanya jika kau seperti itu,
Sebab mengharapkanmu, amatlah mustahil bagiku.
Kau ada di atas langit yang tinggi,
Sementara aku hanya bisa tengadah meratapimu disini.
Tidaklah mudah menjadi aku yang harus menyembunyikan harapan dibalik keadaan.
Tidaklah mudah menjadi diriku yang harus menetralkan semua rasa dengan keikhlasan.
Cintaku padamu bagai pungguk merindukan bulan.


Setia Furqon Kholid
Inspirasi buku “Apa Ada Cinta?”
Read more ...

Rabu, 14 Desember 2016

Enam Alasan Tidak Mendirikan Partai Islam


Salah satu tulisan yang menarik untuk dibaca, saya menemukannya di salah satu buku berjudul "Memilih Partai Mendambakan Presiden". ditengah pergulatan transisi dari orde baru ke era reformasi, muncul perdebatan mengenai penting tidaknya partai islam, bagaimana pelembagaan partai islam yang baik, layak atau tidak umat islam atau ormas-ormas islam di negeri ini mendirikan partai. mengingat saat itu sedang terjadi arus demokratisasi yang membuat semua orang bisa saja berserikat, ataupun mendirikan partai, maka umat islam pun dihadapkan apakah perlu untuk membangun partai-partai yang akan berkontestasi dalam perpolitikan di indonesia. ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. salah satu tokoh intelektual islam yang tidak setuju dengan pendirian partai islam di era-era transisi demokrasi pada kisaran 1998-an adalah beliau Kuntowijoyo. ada bebrapa argumen yang membuatnya tidak setuju untuk umat islam ini mendirikan partai politik. tapi meskipun begitu, realitasnya pada saat itu muncul sedikit banyak partai islam, dan sampai saat ini masih tetap eksis, meskipun juga dengan berbagai problema didalamnya. tapi dari tulisan ini, agaknya harus bisa menjadi sebuah bahan refleksi bagi umat islam dan partai islam.
Berikut tulisan beliau Kuntowijoyo yang mengajukan argumennya tentang tidak perlunya mendirikan partai islam;

..........

Mula-mula Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membentuk sebuah panitia pendiri “Partai NU” (hasilnya ialah Partai Kebangkitan Umat), kemudian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) merekomendasikan berdirinya sebuah parpol Islam (kelanjutan rekomendasi itu ialah berdirinya BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam) yang akan menjadikan Kongres Umat Islam dan yang terakhir Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang 5-7 Juli 1998 berijtihad politik untuk mendirikan parpol islam (pribadi warga Muhammadiyahnya, Kedaulatan Rakyat, 8 Juli 1998). Dan masih banyak lagi.
Rupa-rupanya itu semua sesuai dengan aspirasi massa masing-masing di musim semi kebebasan. Lengkaplah sudah pengotak-ngotakan politik kaum santri yang dibuat oleh tangan umat sendiri dengan sadar: Satu kotak untuk kaum tradisiomalis (NU), satu kotak untuk kaum modernis (DDII) dan satu kotak untuk kaum puritan (Muhammadiyah). Reformasi yang berarti kebebasan demokrasi dan transparansi, menjadi ketertutupan, pribadi, otoritarian dan eksklusivisme.
Tulisan ini sangat prihatin dengan keadaan itu. Dengan berakhirnya Orde Baru dan mulainya Orde Reformasi, umat berada di persimpangan jalan sejarah. Sebagian besar menganggap perubahan itu sebagai rahmat, sebagian lainya menganggapnya sebagai ujian. Anggapan bahwa perubahan adalah rahmat telah menghasilkan nostalgia politik untuk kembali ke masa lalu, sedangkan anggapan perubahan sebagai ujian menimbulkan rintisan ke arah jalan baru.
Sayang, anggapan pertama adalah mayoritas, sedangkan anggapan kedua ini hanya minoritas. Demikianlah, meskipun tulisan ini adalah bagian dari minoritas yang barangkali hanya teriakan lemah di masa banjir bandang kebebasan, tetapi rupanya perlu juga dikemukakan. Untuk membebaskan diri penulis dari tanggung jawab di depan masyarakat ilmiah dan mahkamah sejarah. Di bawah ini adalah enam alas an mengapa pembentukan parpol Islam adalah kesalahan yang fatal.

1. Terhentinya Mobilitas Sosial
Waktu Indonesia merdeka ada harapan bahwa akan terjadi mobilitas vertikal bagi wong cilik, orang kecil akan naik dalam tangga sosial. Tetapi itu tidak terjadi, di banyak daerah, Indonesia tetap berada di tangan elite penguasa seperti sebelumnya. Kekecewaan-kekecewaan itulah yang sebenarnya mendasari beberapa revolusi sosial dekat setelah Proklamasi yang dipeleopori oleh wong cilik (abangan), seperti Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah Utara, Revolusi Sosial di Sumatra Timur dan Perang Cumbok di Aceh. Seperti diketahui inner circledari pada pemuda dalam perjuangan kemerdekaan sekitar Proklamasi pada umumnya adalah kaum abangan. Dikalangan wong cilik, santri sendiri, kekecewaan yang sama muncul di tahun 1950-an dalam pemberontakan DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat, AOI di Kebumen (Jawa Tengah Selatan), Yon 426 di Kudus (Jawa Tengah), Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi.
Pada pasca-1965 yang naik dalam tangga sosial adalah kaum bangsawan lebih dulu, bukan kaum santri. Apa sebab ? Pada tahun 1950-an yang dikenal dengan masa Demokrasi Liberal itu kaum santri sibuk berpolitik dalam berbagai parpol Islam. Pertanyaannya ialah bukankah kaum abagan dan kaum santri sama-sama sibuk berpolitik, kok yang mengalami mobilitas social vertikal pasca-1965 hanya kaum abangan ? Jawabannya ialah karena kaum abangan tidak mempunyai tanggung jawab sosial dalam penyebaran agama, sehingga dana, perhatian dan tenaga dapat dicurahkan untuk pembinaan SDM-nya. Mereka dapat mengantarkan warganya untuk menjadi elite dalam berbagai bidang, seperti birokrasi, profesi, militer, intelektual dan eksekutif.
Pada 1970-1990 kaum santri mengalami marginalisasi. Ternyata, marginalisasi itu suatu blessing in disguise (rahmat tersembunyi) karena dalam keadaan itulah kaum santri dapat membina SDM-nya setelah terbebas dari beban politik. Dominasi dalam lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif sesudah 1992 menimbulkan istilah “ijo royo-royo”. Demikian pula ada dominasi kaum santri dalam dunia profesi, budaya dan akademi pada 1990-an. Mobilitas sosial vertikal itu akan terhenti kalau kaum santri kembali berpolitik. Akibatnya, baru terasa di tahun 2020-an nanti, justru pada waktu itu Indonesia memasuki liberalisasi penuh. Kaum santri akan menjadi “gelandangan di rumah seindiri” kembali (istilah Emha Ainun Nadjib).

2. Disintegrasi Umat
Pada tahun 1970-1990 telah tejadi tiga macam konvergensi. Konvergensi sosial antara wong cilik dan priayi, konvergensi budaya antara abangan dan santri, serta konvergensi aliran agama antara tradisionalis, modernis dan puritan. Konvergensi sosial telah melahirkan kelas baru yaitu kelas menengah.
Para pengamat mengatakan bahwa lahirnya kelas menengah inilah yang mendasari adanya ICMI. Seseorang yang semasa mahasiswa di akhir 1960-an dan di awal 1970-an adalah anggota GMNI (per definisi adalah perkumpulan kaum abangan) pada tahun 1990-an banyak yang Islamnya melebihi anggota HMI dan PMII (yang perdefinisi adalah perkumpulan santri). Proses perbubahan budaya itu pasti terjadi pada tahu-tahun 1970-1990 ketika Islam secara politis tenggelam dan secara budaya mencair. Pada tahun 1970-1990 juga terjadi hubungan yang akrab antara NU dan Muhammadiyah. Dalam kepengurusan ICMI, baik di tingkat pusat maupun orwil, maupun orsat sudah tidak diperhitungkan lagi aliran-aliran agama. Gagasan untuk rekonsiliasi antara NU dan Muhammadiyah pun sudah terpikirkan.
Akan tetapi konvergensi itu akan berakhir kalau parpol-parpol Islam muncul. Aliran-aliran agama yang semula telah cair akan mengkristal lagi; orang NU akan memilih Partai Kebangkitan Umat dan orang Muhammadiyah akan memilih “Partai Muhammadiyah”. Munculnya parpol Islam akan membuat orang yang telah mengalami konvergensi budaya mengalami frustasi.
Kalau dulu orang dapat memilih PPP, Golkar atau PDI tanpa beban moral, nanti lain soalnya. Masing-masing parpol Islam akan harus mencari indentitas politiknya, sehingga perbedaanlah dan bukan persamaan yang menonjol. Identitas yang berbeda akan menguasai, parpol Islam akan menganut ideocracy (dari bahasa Yunani Iidios [ciri khas] dan kratein [menguasai]). Demikianlah akan terjadi disintegrasi umat.

3. Umat Menjadi Miopis
Politik hanya memikirkan masalah-masalah yang berjangka pendek. Kita sungguh takut bahwa dengan berpolitik umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas realitas yang dekat. Orientasi bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal, ternyata hanya benar dalam jangka pendek. Misalnya, “kemenangan” islam untuk menyatukan pesantren dengan sistem pendidikan nasional, dapatnya para santri bersekolah umum ternyata hanya baik di permukaan. Di bawah perbukaan “kemenangan” itu menimbulkan ketergantungan umat pada negara, cita-cita pemuda Islam jadi PNS, hilangnya semangat wiraswasta pada umat.
Bahwa kekuasaan tidak menjamin penyebaran agama, terbukti dalam banyak kasus. Kekuasaan Islam di Spanyol yang tujuh abad (VIII-XV) itu tidak ada bekasnya, kalau tidak ada arsitektur, filsafat, iptek dan kusesastraan. Demikian pula kekuasaan Islam di India yang tujuh abad (XII-XIX). Dengan kekuasaannya, raja-raja Kesultanan Delhi tidak bisa meng-Islam-kan orang-orang India bahkan di dekat pintu gerbang istananya.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa para wali yang berhasil meng-Islam-kan pedalaman Jawa, bukan raja-raja. Pemerintahan Hindia-Belanda sendiri konon menguasai Indonesia selama 350 tahun tidak berhasil meng-Kristen-kan orang-orang Indonesia. Dan berapa persen orang Timor-timor menjadi Islam sejak integrasi ? Integrasi ternyata lebih menguntungkan misi Katholik dari pada Islam, lebih sebagai Katholikisasi bukan Islamisasi. Memang, tujuan politik adalah kekuasan bukan agama, kekuasaan itu netral sampai negatif. Agama harus di lihat dari perspektif jangka panjangnya, paling tidak perspektif jangka menengah, bukan perspektif jangka pendek.
4. Pemiskinan
Agama itu mula-mula seperti sinar tunggal yang memancar, tetapi dalam masyarakat ia mampu mengurai menjadi banyak sinar; dakwah, kehidupan sosial, kebudayaan, sistem pengetahuan, iptek, filsafat, mitos, politik, ke-SDM-an, mentalitas dan sebagainya. Mendirikan parpol Islam akan berarti membunuh potensi-potensi itu untuk berkembang. Umat akan bergerak seperti kuda kereta yang ditutup matanya supaya tidak menoleh kanan-kiri.
Kekayaan agama menjadi miskin kalau putra-putra terbaik umat dijuruskan hanya ke politik. Karena politik itu relatif gampang, rumusnya retorika, demagogi dan mobilisasi massa. Hasilnya pun tampak menonjol di permukaan: Sekian orang dalam lembaga eksekutif. Tidak memerlukan kreativitas pribadi yang luar biasa, tidak perlu pribadi yang suka bekerja dalam sepi. Padalah, dalam keadaan sekarang yang relatif baik saja kita sebenarnya kekurangan orang yang sanggup bekerja sendirian. Misalnya, untuk berbicara di depan forum ilmiah tentang filsafat, kita harus mencari ke STF Driyarkara. Bukan karena kita besar jiwa, tetapi memang karena kekurangan SDM meski ada penjelasannya. Harus diakui bahwa di antara penduduk Indonesia yang lebih dari 202 juta umat itu kekurangan dalam banyak hal. Rasanya, menambah beban sosial umat dengan politik adalah sebuah dosa sejarah. Patut dipertanyakan tanggung jawab sejarah politik umat. 

5. Runtuhnya Proliferasi
Dengan depolitisasi sejak tahun 1970-an telah terjadi proliferasi (penyebaran) kepemimpinan umat. Sebelumnya umat hanya mengenal tokoh politik sebagai tokoh yang sebenarnya. Di kalangan modernis nama Mohammad Natsir dan di kalangan tradisionalis mungkin nama Idham Chalid. Kalau dibuat peta jaringan-sosial, nama-nama itulah yang menjadi pusatnya, the tokoh. Dengan proliferasi ada banyak nama yang menjadi pusat dalam jarring-jaring sosial, sehingga tokoh menyebar ke beberapa arah, bukan hanya ke arah tokoh politik (tokoh politik hanya a tokoh).
Proliferasi telah menjadikan pengusaha, birokrat, ilmuan, seniman, ulama dan sebagainya sebagai tokoh umat.Nanti kalau ditengah-tengah umat muncul parpol, pastilah tokoh politik yang ahli dalam mobilisasi massa kembali jadi satu-satunya tokoh umat. Dengan adanya parpol akan hilang gambaran bahwa tokoh umat itu bisa jadi para usahawan, seniman atau intelektual. Proliferasi yang selama ini telah terbentuk akan buyar. Penghargaan tertinggi umat nanti ialah pada tokoh politik, melupakan kemungkinan bahwa tokoh itu bisa datang dari berbagia bidang.

6. Alienasi Generasi Muda
Pembentukan parpol akan berarti mengingkari bahwa telah terjadi perubahan sosial di kalangan umat. Umat yang mempunyai aspirasi mendirikan parpol Islam, baik yang disampaikan kepada NU, DDII, maupun Muhammadiyah mestilah mereka yang berumur rata-rata 50 tahun, yang mengalami sengitnya persaingan antar-aliran agama. Tetapi orang lupa bahwa ada banyak hal sudah berubah selama ini, yaitu lahirnya generasi baru yang non-sektarian.
Generasi non-sektarian itu disebabkan oleh adanya mobilitas geografis dan generasi mengambang. Mobilitas geografis menyebabkan orang tercabut dari akarnya, sehingga kehilangan reference group (kelompok rujukannya). Misalnya, mereka yang terpaksa berpindah-pindah karena pendidikan, pekerjaan dan kedinasan. Tidak bisa diharapkan tidak luntur ke-NU-annya atau ke-Muhammadiyahan-nya mereka yang sudah berpindah-pindah tempat, dan menyaksikan keanekaragaman dalam beragama. Generasi mengambang terjadi ketika orang tidak menghayati lagi aliran-aliran keagamaan, sehingga aliran apa saja boleh asal Islam. Mereka yang tumbuh dari PII, HMI, sekolah-sekolah umum, dan jamaah-jamaah kampus adalah generasi mengambang. Generasi muda non-sekatarian ini pasti di luar pertimbangan mereka yang mendirikan parpol-parpol Islam.
Kesimpulan
Umat perlu diberi penjelasan yang jernih untuk mencegah supaya musim semi kebebasan betul-betul membawa rahmat, kemajuan dan masa depan yang lebih baik. Kekuasaan itu syahwat. Kata Sayidina ‘Ali, syahwat itu itu seperti ular, halus dijamahnya tetapi berbisa.  Fa aina tadzhabuun ? Umat masih punya harapan, meskipun para politisinya sendiri jelas akan melukai. Harapan itu adalah intelektual, budayawan, professional, mahasiswa dan para aktivis LSM.


Read more ...

Senin, 12 Desember 2016

Sebuah Cerita saat Kuliah


Ilmu membentuk kita. kadang orang suka bilang bahwa dunia akademik itu dunia yang sangat sepi sebenarnya, karena anda berkumul dengan hasil refleksi anda sendiri. tapi ketika anda merasa mentok, janganlah berputus asa. Karena sebenarnya semuanya sudah disajikan, semua teori yang ada sebenarnya sudah memberikan perkakas kepada anda untuk bisa selalu lebih optimis. Tapi dalam optimis itu anda harus tahu bahwa kita juga akan selalu bisa gagal.

Cerita si siplus (siprus?), cerita yunani kuno. Ada manusia dia dikutuk oleh dewa, dia harus mendorong batu keatas bukit, tapi setiap kali dia mau sampai keatas bukit, dia akan jatuh kebawah lagi, dan dia akan terus mendorong batu itu sampai akhir zaman. Dan itulah kutukan manusia, kira2. Gambaran itu mau mendeskripsikan, bahwa kita manusia selalu merasa bahwa kita mampu tapi sebenarnya, di titik2 ktika kita mau sampai di tujuan kita pasti akan gagal terus. Cerita itu bisa dibaca dengan 2 cara. cara pertama, itu kasihan banget. Tapi cara yang kedua, dan ini yang saya suka, adalah bahwa justru itu yang membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya. Bahwa kita setiap hari berjuang, kita setiap hari berusaha. Bahwa tujuan akhir itu ya hanya satu, yaitu kematian itu sendiri. jadi jangankan anda, sampai saat ini saya juga merasakan pergumulan yang sama. banyak sekali hal2 yang ingin saya pahami, tapi saya tidak bisa memahaminya. Mungkin karena ilmu saya yang masih terbatas atau saya juga masih keliru dalam membaca teori dan lain sebagainya. tapi the point is, intinya adalah kita harus terus menerus mendorong batu itu. karena apabila sekali kita sampai tujuan, akhirnya bingung mau ngapain lagi. jadi justru yang membuat kita menjadi manusia adalah karena ketidaksempurnaan kita, dan kita selalu punya kekosongan itu. kalo dalam psikoanalisa itu namanya lack, ada sesuatu yang lack didalam dirikita. Kita tidak minta dilahirkan didunia ini, tapi kemudian tiba2 kita ada, dan kemudian kita harus berusaha mengisi hidup itu. kemudian anda mengikuti kegiatan macem2, sekolah, karier, anda berusaha melakukan berbagai jenis kegiatan bahkan sampai anda berkeluarga, punya anak, dan sebagainya. itu semua dalam rangka mengisi apa sih tujuan hidup kita didunia ini. Makanya agama itu luarbiasa sekali sebenarnya, karena dia memberikan panduan itu.

Sebenarnya ketika kita membicarakan strukturalis ini kita banyak ngomongin tentang bahasa dan kekuasaan, sampai ketitik kita sebenarnya, kita akan berkesimpulan bahwa manusia itu tidak punya esensi, kita itu sebenarnya kosong. Kita berpikir kita ada, tapi kita berpikir kita ada itu karena bahasa. Kalau tidak ada bahasa bagaimana, kamu bisa menjelaskan siapa sebenarnya dirimu? Jadi kamu punya esensi atau bahasa dulu. Manusia dulu atau bahasa dulu? Bahkan nanti sampai yang namanya keinginan, cita2, identitas, itu sebenarnya semua konstruksi bahasa, kita berusaha menyerap dan menjadikan


Anda laki2? Bagaimana anda bisa mengatakan anda laki2? Biologis tentunya. terus Kenapa nada harus pakai kemeja dan celana panjang? Karena konstruksi, dan konstruksi itupun, itu tidak bisa membuat kita merasa sepenuhnya jadi laki2 . sebenarnya kal o saya nyaman dengan kelaki2an saya, saya bisa kekampus pakai rok dong. Tapi saya masih merasa ngga yakin, makanya saya pakai celana panjang dan kemeja, tapi saya masih ngga merasa ngga yakin juga, kemudian saya menggaharkan suara saya, kemudian mengembangkan sifat2 maskulinitas, saya suka olahraga. Tapi masih ngga cukup juga, saya masih belum merasa jadi laki2. Kemudian kalo malam minggu saya sering keluar dan cari orang untuk berantem dan sebagainya, masih ngga cukup juga, cari pacar. Pacarnya ngga harus selalu dengan perempuan kan? Yang penting saya menjadi maskulin aja. Lawannya mau seperti apa, kalau….sebenarnya post strkturalis menunjukkan bahwa manusia ini tidak punya esensi, tpi justru karena tidak punya esensi, kita kemudian mencari supaya kita punya esensi, dan kemudian kita terus menghidupi itu. kenapa sebenarnya beli parfum harus merek axe? Kenapa harus beli sepatu yang bukan haihil? Kemudian kita akan melihat ternyata dunia ini sudah dibentuk oleh rezim. Apa implikasinya kemudian ketika kita ketemu dengan manusia yang tidak tunduk terhadap standar laki2 dan perempuan, kita selalu mempertanyakannya kan? Kok bisa seperti ini, atau kita jadi merasa ada sesuatu yang asing. Nah ini akan banyak mengganggu fantasi sebenarnya post strukturalis ini. 

Read more ...

Minggu, 11 Desember 2016

Nasionalisme Saya Terusik


Saya adalah seorang yang sangat nasionalis. Saya sangat mencintai negeri ini. saya adalah seorang radikal, saya mencintai negeri ini secara radikal. Kalau dibelah dada saya mungkin bisa ditemukan tulisan NKRI – setelah Allah dan Rasul,Ayah  dan Bunda, dan tentunya Ukhti Sholihah. Ehalah…. Kurang cinta apa lagi coba saya terhadap negeri ini ?

Saya sangat hapal lagu kebangsaan Indonesia Raya. jiwa dan raga ini selalu bergetar jika lagu kebangsaan tersebut dinyanyikan pada upacara, dan acara-acara resmi yang mengawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan. Baru setelah itu ada hymne Gadjah Mada yang selalu membuat jiwa ini bangga dan bergelora, tapi ini penilaian subjektif dari saya. Tapi saya pastikan bahwa setiap anak manusia di negeri ini pasti bergetar jiwanya jika menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Saya akhir-akhir ini agak sedikit religius – bukannya mau riya ya, jadi saya usahakan sholat subuh tepat pada waktunya. Dulu sih sholat subuh ya kalau sudah ada sinar matahari yang menyelinap masuk ke kamar kos lewat kaca jendela dan menyilaukan mata yang masih berat untuk terbuka. selain fadhilah sholat subuh yang sangat besar jika dikerjakan tepat waktu dan berjamaah, manfaat lain saya juga bisa ikut menyanyikan atau paling tidak mendengarkan lagu kebanggaan saya dikumandangkan di seluruh stasiun televisi nasional di negeri ini di pagi hari setelah waktu subuh. Ya, lagu itu adalah Indonesia Raya.  

Tapi beberapa kurun waktu belakangan, ada yang mengusik rasa nasionalisme saya. Saya khawatir lagu Indonesia Raya kebanggaan seluruh rakyat Indonesia ini mulai ada pesaingnya yang mengisi kognisi rakyat Indonesia. Ada satu lagu yang saat ini mulai sedikit banyak dihapal orang. Terutama generasi muda, lebih-lebih para adik-adik yang lucu, yang masih berada di bangku sekolah. Lagu apa itu? dialah Mars Perindo. Sebuah lagu yang saya kira cukup easy listening. Lagu ini adalah semacam kampanye dari partai Perindo. Bukan dalam rangka pemilu, tapi ini adalah kampanye jangka panjang, yang bertujuan mengenalkan dan membangun image partai. Saya takut kalau-kalau nanti lagu ini lebih dihapal, lebih merasuk ke jiwa, lebih mendarah daging, dan akhirnya menyaingi atau bahkan menggeser kemapanan lagu Indonesia Raya.

Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab. Ada beberapa hal yang membuat kekhawatiran ini menjadi muncul dan membuat resah rasa nasionalisme saya. Pertama, lagu ini setiap hari dikumandangkan di stasiun televisi milik MNC group, kita tahu ini adalah media milik Hary Tanusudibyo, sang pendiri partai, sekaligus pemeran utama dalam tayangan Mars pelindo. Kedua, lagu ini ditayangkan pada jam-jam dimana orang pasti menyaksikan televisi, yakni setelah subuh, siang hari ketika beristirahat sejenak dari aktivitas pekerjaan, dan sore atau malam hari ketika orang telah lelah beraktivitas. Itulah waktu yang saya kira sangat krusial. Dan saya sudah menyaksikan diketiga waktu itu. coba bandingkan dengan intensitas kita mendengarkan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. mungkin hanya sekali seminggu ketika upacara bendera. Itupun bagi anak-anak sekolah dan mereka yang mengabdi di dunia pendidikan. Pun dengan para aparatur negara. lalu para profesional dan lain-lainnya bagaimana?

Ketiga, lagu ini mudah sekali untuk dihapal. Sangat easy listening. Jika dibanding mars atau hymne dari partai lain yang komposisi musik dan liriknya tidak semudah Mars Pelindo untuk dihapal. Bahkan beberapa partai politik saya belum pernah mendengarkan lagu kebesaran mereka. Keempat, saya tidak tahu kapan iklan ini akan diberhentikan. HT sang pemilik MNC grup tentu tak perlu pusing memikirkan biaya penayangan iklan politik, pun dengan batasan waktu pemasangan iklan. Kecuali rezim yang sensitif atas hal tersebut,  dan mulai menggoyahkan penayangan iklan politik Mars Perindo.  

Diakui beberapa kali saya juga bersemangat untuk mendengarkan lagu ini. saya palingkan tubuh saya dari aktivitas lain untuk menghadap layar televisi dan mengikuti lagu tersebut dengan semangat. Tapi saya menganggap ini hanya sebagai hiburan saja. Kadang  saya lelah, dan kemudian ada senda gurau politisi yang bisa sedikit mengurangi rasa lelah dan stres, ya saya ikuti saja lah. Sambil tertawa dalam hati dan membatin “ehalah manusia, memang kau pemain senda gurau yang hebat”. Tapi ini tidak bisa menghilngkan kekhawatiran saya terhadap rakyat di negeri ini, yang bisa saja teracuni oleh iklan politik ini. dan kekhawatiran atas nasib lagu kebangsaan Indonesia Raya yang saya kira mulai terancam kemapanan dan kesakralannya atas kehadiran iklan ini.

Njuk aku kudu piye yo?    
Read more ...

Jumat, 09 Desember 2016

Am I the worst?


Hari itu adalah rabu jam 10 pagi, kami angkatan tua yang masih aktif kuliah dikumpulkan untuk diadakan kelas penulisan akademik yang berdasarkan kurikulum baru kami harus menambahnya 1 sks. Sebagai angkatan yang tinggal menyelesaikan skripsi, untuk menggantikan kewajiban 1 sks itu, kelas akan diisi dengan monitoring skripsi yang digarap mahasiswa.

Ketika di kelompokkan berdasarkan progres pengerjaan skripsi, ada empat golongan sebagai berikut;

Masih mencari topik/tema
Sedang menyusun proposal
Proposal + pencarian data
Penyusunan laporan penelitian

Dari klasifikasi diatas, memang kebanyakan mahasiswa masih berada pada tahap penyusunan proposal. Hampir 70 persen. hanya beberapa yang sudah mulai mencari data, dan hanya 2 orang yang tinggal menyusun laporan penelitian. Dan, aku adalah salah satu dari mereka-mereka yang masih belum juga menemukan tema. Luar biasa sekali saya kira bung…ngapain aja ente satu semester ini? sampai-sampai engkau berada pada kasta terbawah…topik pun belum kau temukan..mahasiswa macam apa kau ini..

Salah satu pembelaan adalah aku masih mengambil mata kuliah, tak tanggun- tanggung, 5 mata kuliah sekaligus. Untuk ukuran mahasiswa akhir di fakulltasku itu banyak sekali, tapi masalahnya adalah semua itu bukan mengulang mata kuliah yang nilai nya hancur, aku malah mengambil mata kuliah baru dan lintas jurusan, yang sebenarnya tidak aku ambil pun its no problem. Kok kepikiran ambil kuliah sebanyak itu koe le..le… mending garap skripsi. Pembelaan lanjutan, aku ketika mengisi KRS belum menemukan tema skripsi, jadi aku ambil saja beberapa kuliah, siapa tahu sambil kuliah bisa nemu ide. But, sampai tulisan ini kubuat, I don’t have idea for my thesis. Ampuni hamba ya Alloh….


Berada di barisan kasta terbawah harusnya membuatku tercambuk. Dan benar saja, sepanjang kuliah aku hanya tersenyum dan tertawa dalam hati menertawai diriku sendiri. bodoh!!!! Dasar pemalas!!!! Begitu saja kau tidak bisa kerjakan. Bangun!!!! Bangun!!!! Tak malukah kau saat ditanya siapa saja yang belum menemukan tema dan kau mengacungkan tangan sebagai tanda bahwa kau adalah salah satunya?  Apa perlu tamparan lebih keras lagi untuk membuatmu segera tersadar? Jawab..hei, jawab..jangan diam saja..

Segeralah bangkit hei...sudah banyak yang menantikan kelulusanmu...bapakmu, ibukmu, mbahmu, pakdemu, bukdemu, adek2mu, sepupu dan keponakanmu....
Read more ...
Designed By