Breaking News

Rabu, 30 November 2016

Kegaduhan Politik dan Pikiran


Disaat media gencar membicarakan soal aksi massa yang akan dilasanakan pada 2 desember, aku masih saja berkutat pada pikiran tentang diriku sendiri. egois?, memang, tapi harus kuselesaikan ini. diluar sana banyak umat yang dengan semangat membara akan datang ke Jakarta, bergabung dalam barisan. Memenuhi panggilan jihad. Beberapa teman pun berencana ikut, beberapa juga ingin turut serta tapi banyak hal yang menghambat.  Satu hal yang masih aku percaya. Tidak masalah aku tidak turut serta dalam aksi yang kemudian disepakati sebagai kegiatan istighosah dan doa bersama untuk negeri itu, dengan alasan bahwa jihadku saat ini adalah menuntut ilmu. Meskipun itu seolah sebagai pembenaran, tapi menuntut ilmu memang senyatanya adalah bagian dari jihad.
Aku hanya tertarik pada berbagai analisis yang dilontarkan oleh para dosen yang mengajar dikelas. Berbagai sudut pandang disajikan dari beberapa dosen. Dan itu bagiku lebih bermutu daripada mereka-mereka yang menghadirkan analisis di layarkaca dengan diintervesi kepentingan media untuk mengarahkan opini publik. Meninabobokan publik dengan analisis yang dianggap oleh seorang dosen hanya “kulit” dari persoalan yang terjadi.
Sedikit tidak hirau dari persoalan diatas, pikiranku saat ini masih berkutat pada skripsi, manchester university, dan “ukhti”. Hahaha. Luar biasa saya kira. Visioner. Skripsiku masih belum juga mulai kujemput dari sang pemilik segalanya. Sudah kucoba membaca skripsi yang tersedia di perpustakaan, pun buku-buku yang bertebaran di perpustakaan. Belum juga kutemui titik terang. Tapi bagiku ini adalah sebuah langkah radikal, aku sudah menghibahkan diriku untuk setia mendatangi gedung yang dipenuhi buku-buku itu. tinggal tunggu waktu saja kapan Tuhan akan mengilhamkan sebuah ide untuk kugarap.
Sering aku mengawang-awang, bagaimana bisa nanti aku melanjutkan kuliah ke inggris, universitas manchester. Aku bukan mahasiswa yang berpikiran kritis, aku bukan mahasiswa aktivis, aku bukan mahasiswa yang pandai berdebat kritis, aku bukan mahasiswa yang mampu menulis dengan berbagai analisis. Aku hanya mahasiswa cupu. Yah, itulah realitasnya. Luar biasa tragis saya kira bung. Kalau dibanding dengan mahasiswa lain yang super dan hebat-hebat, aku bagaikan buih dilautan yang hanya bisa terombang-ambing pasrah menerima terjangan ombak dan kemudian terbawa arus. Tapi sudah lah, aku masih punya Allah, yang punya semuanya, yang mengikrarkan diri-Nya sebagai Raja. Dia bilang kalau mau segala sesuatu, mintalah, nanti Aku kabulkan. Oke, aku percaya itu. aku percaya Dia lah yang memiliki segalanya, Dialah Raja. Tugasku hanya minta pada-Nya, bukan pada yang lain. tentu sembari ikhtiar, minimal belajar lah dan persiapan-persiapan lain. biar nanti ketika datang waktunya aku tinggal berangkat saja. Biar Allah yang mengatur. Logikaku, atau logika manusia pada umumnya, tidak akan sampai, pasti mentok. Biar Dia yang mengatur skenarionya.
Satu lagi yang selalu menyesaki dan telah mengambil ruang di salah satu sudut pikiran, dia, yang anggun, yang bersahja, yang teduh-meneduhkan. Sering aku berpikir bagaimana caranya nanti aku bisa dipertemukan kembali dengan dia dalam kondisi kami sebagai insan yang telah matang dan siap mengarungi masa depan. Banyak formasi dan skema yang kupikirkan. Tapi ya itulah, namanya juga manusia. sering menemui jalan buntu. Sama seperti soal universitas manchester tadi. Dan kembali lagi jawabannya adalah cukup minta saja pada Allah, pemilik segalanya, yang mengikrarkan diri sebagai Raja semesta. Cukup. Itu saja. Kadang juga terpikirkan soal bagaimana kondisi dia saat ini, keadaan dia saat ini, apakah dia baik-baik saja di sudut dunia sana. Tapi sudahlah, biar sekarang itu menjadi urusan Allah, biar Allah yang menjaganya. Aku percaya pada Allah. Nanti pasti akan datang saat dimana dirinya juga menjadi urusanku.
Cukuplah ceramah para dosen menjadi salah satu pisau analisis atas kegaduhan politik saat ini. Cukuplah ceramah KH Yusuf Mansur tentang keyakinan pada Allah, menjadi pemantik ledakan semangat saat dan kegaduhan pikiran tentang skripsi, manchester university, dan ukhti, yang mengusik hari-hari di penghujung status sebagai mahasiswa di kampus yang katanya salah satu terbaik di Indonesia, tapi memang benar yang terbaik. Aku hanya bisa berjalan, ikhtiar, dan berdoa meminta pada sang Raja. Pasti ada jalannya, tak perlu dipikirkan bagaimana sang Raja mengatur skenarionya, cukup ikhtiar dan doa. Cukup. Itu saja.



Read more ...

Kamis, 17 November 2016

SIMBOK


Ada satu cerita pendek yang menarik, saya menemukannya dari salah satu grup media sosial. ini soal dunia, rezeki, iman, perspektif, dan kelapangan hati. mungkin banyak makna lain yang bisa digali dari cerita dibawah ini. insyaalloh cukup membuat kita sedikit merenung.


S I M B O K

"Mbok,  kita kan sekarang cuma tinggal berdua, kenapa simbok tetap masak segitu banyak?

Dulu waktu kita masih komplet berenam aja simbok masaknya selalu lebih. Mbok yao dikurangi, mbook...ben ngiriit.." kataku dg mulut penuh makanan masakan simbokku siang ini: nasi liwet anget, sambel trasi beraroma jeruk purut, tempe garit bumbu bawang uyah, sepotong ikan asin bakar,  dan jangan asem jowo. Menu surga bagiku.

Sambil membenahi letak kayu2 bakar di tungku, simbok menjawab, "Hambok yo ben toooo..." "Mubazir, mbok. Kayak kita ini orang kaya aja.." sahutku.
"Opo iyo mubazir? Mana buktinya? Ndi jal?" tanya simbok kalem. Kadang aku benci melihat gaya kalem simbok itu. Kalo sudah begitu, ujung2nya pasti aku bakal kalah argumen.
"Lhaa itu?, tiap hari kan yo cuma simbok bagi2in ke tetangga2 to? Orang2 yg liwat2 mau ke pasar itu barang??" aku ngeyel.
"Itu namanya sedekah, bukan mubazir.. Cah sekolah kok ra ngerti mbedakke sodakoh ro barang kebuang.."
"Sodakoh kok mban dino?! Koyo sing wes sugih2o wae, mbooook mbok!" nadaku mulai tinggi.
"Ukuran sugih ki opo to, Kir?" Ah, gemes lihat ekspresi kalem simbok itu!
"Hayo turah2 leh duwe opo2..Ngono we ndadak tekon!"
"Lha aku lak yo duwe panganan turah2 to? Pancen aku sugih, mulo aku iso aweh...". Tangannya yg legam dg kulit yg makin keriput menyeka peluh di pelipisnya. Lalu simbok menggeser dingkliknya, menghadap persis di depanku. Aku terdiam sambil meneruskan makanku, kehilangan selera utk berdebat.
"Le, kita ini sudah dapat jatah rejeki masing2, tapi kewajiban kita kurang lebih sama: sebisa mungkin memberi buat liyan. Sugih itu keluasan atimu untuk memberi, bukan soal kumpulan banda brana. Nek nunggu bandamu mlumpuk  lagek aweh, ndak kowe mengko rumongso isih duwe butuh terus, dadi ra tau iso aweh kanthi iklas. Simbokmu iki sugih, le,  mban dino duwe pangan turah2, dadi iso aweh, tur kudu aweh. Perkoro simbokmu iki ora duwe banda brana, iku dudu ukuran. Sing penting awake dewe iki ora kapiran, iso mangan, iso urip, iso ngibadah, kowe podo iso sekolah, podo dadi uwong.. opo ora hebat kuwi pinaringane Gusti Allah, ingatase simbokmu iki wong ora duwe tur ora sekolah?", simbok tersenyum adem.
"Iyo, iyoooooh.."
"Kowe arep takon ngopo kok aku masak akeh mban dino?"
"He eh."
"Ngene, Kir, mbiyen simbahmu putri yo mulang aku. Jarene: "Mut, nek masak ki diluwihi, ora ketang diakehi kuwahe opo segone. E....mbok menowo ono tonggo kiwo tengen wengi2 ketamon dayoh, kedatangan tamu jauh, atau anaknya lapar malam2, kan paling ora ono sego karo duduh jangan..".. ngono kuwi, le. Dadi simbok ki dadi kulino seko cilik nyediani kendi neng paran omah kanggo wong2 sing liwat, nek mangsak mesti akeh ndak ono tonggo teparo mbutuhke. Pancen niate wes ngunu kuwi yo dadi ra tau jenenge panganan kebuang2... Paham?"
Aku diam. Kucuci tanganku di air baskom bekas simbok mencuci sayuran. Aku bangkit dari dingklikku di depan tungku, mengecup kening keriput simbokku, trus berlalu masuk kamar.

Ah, simbok. Perempuan yg ngga pernah makan sekolahan dan menurutku miskin itu hanya belajar dari simboknya sendiri dan dari kehidupan, dan dia bisa begitu menghayati dan menikmati cintanya kepada sesamanya dg caranya sendiri. Sementara aku, manusia modern yg bangga belajar kapitalisme dgn segala hitung2an untung rugi, selalu khawatir akan hidup kekurangan, lupa bhw ada Tuhan yang menjamin hidup setiap mahluk yg bernyawa. Simbokku benar: sugih itu kemampuan hati utk memberi utk liyan, bukan soal mengumpulkan utk diri sendiri.
Read more ...

Rabu, 16 November 2016


Sebuah judul buku belakangan ini mengusik pikiran dan ingin rasanya segera membacanya. buku itu berjudul Menuju Jama’atul Muslimin; Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam, yang ditulis oleh Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA. terbit tahun 2009 dan tebal kurang lebih 400-an halaman. yah, saya cuma penasaran saja pada bagian apa sebenarnya landasan filosofis sebuah jamaah itu bergerak dan motodologi gerakan yang diterapkan dalam jamaahnya. sehingga sepertinya kok banyak jamaah yang jalan sendiri-sendiri, padahal yang dibutuhkan adalah satu kesatuan jamaah. ternyat banyak aspek lain yang dijelaskan dalam buku ini.

coba bertanya pada beberapa teman, katanya punya, tapi sedang dipinjam.hehehe. untuk melampiaskan rasa penasaran, sembari coba cari pinjeman bukunya, saya cari resume dari beberapa portal dunia maya, dan dibawah ini ada resume yang diambil dari portal dakwatuna.com yang bahasanya lebih sederhana dan rapi.
monggo dibaca....lumayan, minimal nambah pengetahuan



Kandungan Buku

Buku ini terdiri atas tiga bab atau bagian utama. Bagian pertama, menjelaskan mengenai Haikal Jama’atul Muslimin (Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin). Dalam bab ini, al-Ustadz Husain Jabir telah berusaha menjelaskan secara konsepsional berdasar tinjauan syariat Islam yang menunjukkan betapa pentingnya wujud sebuah Jama’atul Muslimin. Ia awali pembahasannya dengan mengupas makna umat Islam, baik dari bahasa maupun geografis. Kemudian ia lanjutkan dengan membahas mengenai urgensi syura sebagai lambang tertinggi yang darinya lahir berbagai kebijaksanaan sebagai manifestasi political will umat Islam. Sejalan dengan itu tak mungkin terwujud sebuah syura berskala global, meliputi seluruh umat tanpa adanya imamah atau sistem kepemimpinan. Dalam membahas fasal ini, penulis telah menjelaskan bahwa yang terpenting adalah mewujudkan dan menjaga imamah-nya (kepemimpinan), bukan masalah siapa yang menjadi imam. Artinya bisa saja sang imam bukan berasal dari keturunan Quraisy, asalkan ia memiliki kelayakan sebagai pemimpin umat. Penulis berpendapat bahwa manakala kesatuan umat Islam dengan segala karakteristik positifnya telah terbentuk, ditambah lagi adanya lembaga syura yang berjalan di dalam kerangka sebuah imamah, berarti pada saat itulah sebuah Jama’atul Muslimin telah eksis dengan segala makna hakikinya. Oleh karenanya, bagian pertama ini ia akhiri dengan membahas secara khusus tujuan Jama’atul Muslimin, baik tujuan khusus maupun tujuan umum, apalagi di masa kini, di mana sebagian kaum Muslimin lalai terhadapnya. Maka kami merasa perlu untuk membicarakannya di sini.

Menurut al-Ustadz Husain Jabir rahimahullah terdapat empat tujuan khusus jama’atul Muslimin, yaitu:
1. Pembentukan pribadi-pribadi Muslim (binaa’al-fard al-muslim)
2. Pembentukan rumah tangga Muslim (binaa’al-usrah-al-Muslimah)
3. Pembentukan masyarakat Muslim (binaa’al-mujtama’al-Muslim)
4. Penyatuan umat Muslim (Tauhid al-ummah al-Islamiyah)

Adapun tujuan umum Jama’atul Muslimin, menurut penulis buku ini, ada enam, yaitu:
1. Agar seluruh manusia mengabdi kepada Rabb Nya yang Maha Esa
2. Agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar
3. Agar menyampaikan dakwah Islam kepada segenap umat Manusia
4. Agar menghapuskan fitnah dari segenap muka bumi
5. Agar memerangi segenap umat Manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang benar (syahadatain)

Olehnya, dapatlah kita pahami mengapa ketika penulis menguraikan pendahuluan dari buku ini, beliau mengajukan sebuah pertanyaan: “Adakah Jama’atul Muslimin di dunia sekarang ini?” Dan kemudian beliau sendiri menyimpulkan jawabannya bahwa berbagai pemerintahan Islam yang ada saat ini tidak satu pun yang memenuhi persepsi konsepsional mengenai Jama’atul Muslimin yang dicita-citakan oleh setiap muslim yang cinta akan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Maka di dalam bagian kedua bukunya, penulis melanjutkan bahasannya dengan judul ath-Thariq ila Jama’atil Muslimin (Jalan Menuju Jama’atul Muslimin). Bagian kedua ini sedemikian pentingnya sehingga penulis menjadikannya tema sentral, bahkan menjadikan judul buku ini secara keseluruhan. Bagian kedua ini diawali dengan pembahasan mengenai fasal al-ahkam al-Islamiyah (Hukum-hukum Islam).

Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk kaum Muslimin, mempunyai persepsi keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan seolah-olah hukum Islam merupakan aturan yang kuno, bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa ia merupakan hukum yang sadis, kejam, dan tidak manusiawi. Apalagi setelah berbagai putusan pengadilan di beberapa negeri muslim yang memberlakukan hukum pidana Islam kemudian menjatuhkan vonis rajam bagi pezina, atau potong tangan bagi para pencuri, lalu hal ini diekspos oleh berbagai surat kabar dan majalah dengan suatu pendekatan anti Islam yang semakin memperkokoh kesalahpahaman umat manusia akan hakikat serta keadilan hukum Islam. Mengapa hal ini terjadi?

Sebab pokoknya adalah karena sebagian besar negeri-negeri yang menerapkan hukum-hukum Islam tidak memahami, apalagi mengaplikasikan syumuliyah (totalitas) ajaran Islam sebagai way of life atau minhaj al-hayah. Itulah alasannya mengapa penulis buku menganggap perlu menyisipkan bahasan yang diberi judul “Tidak ada Sektoralisasi dalam Hukum Islam.” Manakala Islam dipahami secara syamil, niscaya penerapan ajaran Islam akan mencakup tidak saja hukum pidana, melainkan juga pemberlakuan ideologi Islam di negara yang bersangkutan. Demikian pula berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti di bidang politik, sosial budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. Semua akan diselenggarakan berdasarkan dan sesuai nafas ajaran Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana, al-Islam. Adapun sekarang, apakah yang kita saksikan di tengah kebanyakan negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim? Di satu segi ada semangat untuk tetap memelihara warisan suci ajaran Islam, terutama di bidang ibadah praktis atau hukum pidana Islam, namun di sisi lain kita melihat bagaimana berbagai aspek kehidupan selepas itu diatur oleh ajaran-ajaran produk manusia yang sudah barang tentu mengandung banyak ketidaksempurnaan! Di satu sisi, semangat untuk memotong tangan sebagai sanksi bagi para pencuri terus ditumbuhkan, namun di sisi lain pengelolaan zakat sebagai landasan di dalam masyarakat tidak ditangani secara serius. Atau hukum rajam bagi para pezina ingin diterapkan, tetapi berbagai film-film seronok, majalah dan bacaan-bacaan cabul merambah dengan leluasa di tengah kaum muda umat. Inilah peringatan Allah yang jelas tertera dalam Al-Qur’an:

Apakah kamu beriman kepada sebagian al-kitab (Qur’an) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 85)

Ajaran Islam bersifat syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh, sempurna, dan saling menyempurnakan). Sedangkan Muslim memiliki al-qudrah al-juz’iyyah al-mahdudah (kemampuan sektoral dan terbatas). Oleh karenanya tidak mungkin Islam akan tertegak secara utuh manakala kaum muslimin menerapkannya secara individual. Ia mestilah diterapkan secara jama’i (kolektif). Harus ada suatu upaya ‘amal jama’i agar kesempurnaan Islam dapat terealisasi dalam kehidupan kolektif kaum Muslimin. Sedangkan kehidupan amal jama’i tidak akan mungkin terwujudkan dengan sempurna kecuali setelah terbentuknya sebuah tatanan dakwah yang memadai. Tatanan dakwah inilah yang merupakan fokus pembahasan penulis.

Maka di dalam fasal berikutnya penulis melanjutkan pembahasannya dengan menguraikan “langkah pertama Rasulullah SAW dalam Membina Jama’ah”. Setelah itu beliau membahas “Rambu-rambu dari sirah Nabi dalam Menegakkan Jama’ah” yang berisi enam karakteristik pokok sebuah jamaah, antara lain:
* Nasyr mabaadi’ ad-dakwah (menyebarkan prinsip-prinsip dakwah)
* At-takwin ‘alaa ad-dakwah (Pembentukan Dakwah)
* Al-mujabahah al-Musallahah (konfrontasi bersenjata)
* Al-sirriyah fi binaa’al-jamaah (sirriyah dalam membina jama’ah)
* Ash-shabru’ala al-adza (bersabar atas gangguan musuh)
* Al-Ib’aad ‘an saahah al-ma’rakah (menghindari medan pertempuran)

Kemudian bagian dua ditutup dengan membahas “Tabi’at Jalan Menuju Jama’atul Muslim”. Dan yang terpenting kita catat adalah berbagai contoh sepanjang perjalanan sejarah dakwah yang telah diuraikan secara baik sekali oleh al-Ustadz Husain Jabir.

Di dalam bahasan ketiga, penulis membahas bab berjudul “al-jama’ah al-Islamiyah al-‘Amilah fii Haql ad-Da’wah al-Islamiyyah” (beberapa Jamaah Islam di Medan Dakwah). Beliau mengangkat beberapa kasus dalam realitas dunia dakwah dewasa ini, sebelum langsung membahas satu per satu jamaah Islam yang ada, penulis mengawali tulisannya dengan fasal “Kondisi Amal Islami setelah Jatuhnya Khilafah Utsmaniyah”.

Penulis mengambil empat Jamaah sebagai sampel pembahasan. Masing-masing mewakili kecenderungan berbeda.

Pertama, Jama’ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah, berdiri dan berkembang di Mesir. Jama’ah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sosial dan ilmu pengetahuan (ijtimaiyyah wa ats-tsaqofah). Sering pula di sebut sebagi gerakan Salafi.

Kedua, Jama’ah Tabligh, yang lahir di India. Jamaah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sufiyyah.

Ketiga, Jama’ah Hizb at-Tahrir yang lahir dan bermula di Yordania. Jamaah ini berorientasi pada seruan Politik (as-siyasi).

Keempat, Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan di Mesir. Penulis menganggap bahwa jamaah ini mewakili gerkan dakwah yang memiliki karakteristik Syamil (Menyeluruh). Tidak hanya memperhatikan aspek sosial dan ilmu pengetahuan semata, melainkan juga aspek sufiyyah dan aspek siasiyyah, bahkan juga meliputi aspek harakiyyah dan jihadiyyah (pergerakan dan Jihad). [Sumber: Dr. Salim Segaf al-Jufri, Kata Pengantar buku Menuju Jama’atul Muslimin]
Read more ...

Ahok Hanya Kurang Beruntung Saja


Agama memang menjadi isu sensitif yang dibicarakan di ruang publik. Agama menjadi identitas yang sangat abstrak namun ia juga menjadi identitas paling mampu menjelaskan perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya. perdebatan apakah agama layak untuk di jalankan bersandingan dengan negara atau memisahkan sama sekali urusan agama dengan negara pun merupakan debat panjang yang melelahkan. Nyatanya, saat ini banyak negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan kenegaraan.

Penistaan agama, penghinaan agama, pelecehan agama, atau apapun itu istilahnya, merupakan salah satu isu yang sangat sensitif, ia mampu menimbulkan kegaduhan di publik ketika ada satu agama yang dilecehkan. Ahok, agaknya kurang beruntung ketika ocehannya di ruang publik kemudian menyeretnya pada kasus penistaan agama. kita mungkin sudah sering mendengar bagaimana kronologinya sampai aksi massa yang menjadi buntut dari ocehan yang dilontarkan Ahok, dan tindak lanjutnya diranah hukum. semua sudah tersedia di berbagai media massa, bahkan beranda atau timeline media sosial kita.

Kalau kita cermati, salah satu penyebab mengapa kasus ini berbuntut panjang adalah karena Ahok berada dalam posisi sebagai pejabat publik. dalam dirinya ada embel-embel pejabat publik, gubernur Jakarta. itulah mungkin yang menjadi ketidakberuntungan seorang Ahok, jabatan yang melekat pada dirinya sebagai pejabat publik. kalau kita lihat perdebatan panjang di media sosial yang menyajikan dan membahas bahkan saling menghina antar umat beragama, maka akan kita temukan banyak penghinaan yang lebih pedas, lebih tidak enak didengar, dan mencerminkan sebagai seorang warga negara yang uncivilize. tapi kalau dicari satu-persatu akun-akun yang kurang kerjaan itu, butuh waktu yang panjang dan jumlahnya tidak sedikit. bisa pusing para penegak hukum kita nanti. bisa jadi itu juga akun-akun palsu yang sengaja dibuat untuk mengadu domba. mereka itu hanya kelompok masyarakat yang tidak jelas.

Ada celotehan lain yang sempat muncul, lah si Zakir Naik itu piye? setiap ceramah dan debatnya pasti menghujat agama lain. kalau dilihat sekilas memang itu tampak menghujat agama lain. tapi dia bekerja dalam ranah keilmuan, dia berada dalam mimbar akademik. dia tampak seolah menghujat, tapi lebih tepatnya dia menggugat secara keilmuan. dia punya institusi bernama mimbar akademik, yang katanya setiap orang bebas mengungkapkan gagasannya atau menggugat dan mengkritisi gagasan orang lain.

Jadi, kalau boleh berpendapat, persoalan si bang Ahok ini hanya soal ketidakberuntungan saja. posisi nya sebagai pejabat publik mengharuskannya bersikap selayaknya seorang pejabat publik. tapi disisi lain, gaya komunikasinya yang ceplas-ceplos dan terkesan kurang santun juga membuat banyak kalangan tidak menyukainya. jadi sepertinya memang sudah diincar banyak orang, tinggal nunggu keplesetnya saja. eh, ternyata benar, datang juga waktunya, sang tupai pun terjatuh setelah berlarian dari satu pohon ke pohon lainnya. 

Yah, buat pejabat publik lainnya, hati-hati ya, jangan suka kebablasan kalo berbicara di depan publik. kalau emosi, tahan saja. ungkapkan emosimu di rumah. di kamar mandi bisa juga, teriak sekencang-kencangnya, setelah itu bernyanyi melepas kepenatan, biar syetan ikutan joget. astoghfirulloh. kalau lagi mandi ngga boleh sambil nyanyi ding, lupa saya.   

Read more ...

Minggu, 13 November 2016

11 fase kehidupan manusia dalam falsafah Jawa


Falsafah merupakan pandangan dalam hidup yang menjadi hal penting yang diketahui, dipahami, dan dijalani oleh sebuah entitas masyarakat. Jawa sebagai sebuah suku bangsa yang sangat besar dan telah tumbuh dan berkembang bukan hanya dipulau Jawa saja, tapi telah menyebar sampai ke berbagai penjuru nusantara. Banyak masyarakat Jawa yang berpindah ke pulau lain di Indonesia, bahkan ada juga yang sampai di luar negeri, salah satunya di suriname. Perpindahan penduduk dari pulau jawa ke pulau lain banyak disebabkan oleh program Transmigrasi yang pada awalnya digagas pada masa Kolonial. Sebagai sebuah suku bangsa yang besar, tentunya terdapat falsafah yang lahir dari peradaban ini. landasan filosofis sebuah kehidupan yang dijadikan patokan dalam berpikir dan bermasyarakat.
Dibawah ini ada tullisan menarik, lebih singkat, padat, dan mudah dipahami, tentang fase kehidupan manusia dalam falsafah jawa. Yah, ini bisa dijadikan sebagai penambah wawasan tentang local knowledge. Bisa juga dijadikan bahan renungan atau relfeksi. Monggo dibaca….   

11 fase kehidupan manusia dalam falsafah Jawa sbb :

*1. Maskumambang*

Simbol fase ruh/kandungan di mana kita masih "mengapung" atau "kumambang" di alam ruh dan kemudian di dalam kandungan yang gelap.

*2. Mijil*

Mijil artinya keluar. Ini adalah fase bayi, dimana kita mulai mengenal kehidupan dunia. Kita belajar bertahan di alam baru.

*3. Sinom*

Sinom adalah masa muda, masa dimana kita tumbuh berkembang mengenal hal2 baru.

*4. Kinanthi*

Ini adalah masa pencarian jati diri, pencarian cita2 dan makna diri.

*5. Asmaradhana*

Fase paling dinamik dan ber-api2 dalam pencarian cinta dan teman hidup.

*6. Gambuh*

Fase dimulainya kehidupan keluarga dengan ikatan pernikahan suci (gambuh). Menyatukan visi dan cinta kasih

*7. Dhandang Gula*

Ini adalah fase puncak kesuksesan secara fisik dan materi (dhandang = bejana). Namun selain kenikmatan gula (manisnya) hidup, semestinya diimbangi pula dengan kenikmatan rohani dan spiritual.

*8. Durma*

Fase dimana kehidupan harus lebih banyak didermakan untuk orang lain, bukan mencari kenikmatan hidup lagi (gula). Ini adalah fase bertindak sosial. *Dan berkumpul dengan teman2 seperjuangan, bersosialisasi.

*9. Pangkur*

Ini adalah fase uzlah (pangkur-menghindar), fase menyepi, fase kontemplasi, mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Menjauhkan diri dari gemerlapnya hidup.

*10. Megatruh*

Ini fase penutup kehidupan dunia, dimana Ruh (Roh) meninggalkan badan (megat: memisahkan). Fase awal dari perjalanan menuju keabadian.

*11. Pucung*

Fase kembali kepada Allah, Sang Murbeng Dumadi, Sangkan Paraning Dumadi. Diawali menjadi pocung (jenazah), ditanya seperti lagu pocung yang b berisi pertanyaan. Fase menuju kebahagiaan sejati, bertemu dengan yang Mahasuci.

Nah…sekarang..Panjenengan di tahap mana?


Semoga bermanfaat...
Read more ...

Sabtu, 12 November 2016

Gus Mus : “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”


Akhir-akhir ini saya sedang tertarik dan menikmati sebuah puisi yang dikarang oleh Gus Mus atau KH. Mustofa Bisri. puisi yang saya kira menggambarkan kondisi seseorang/kelompok/enitas yang dilematis, berada dalam tarik ulur. puisi ini menggambarkan sebuah kritisme seseorang terhadap kondisi yang menjeratnya. tapi, apapun itu, kita bisa menafsirkan atau menginterpretasikan sesuai dengan pandangan kita terhadap puisi tersebut. karena banyak makna yang bisa digambarkan dari puisi ini.
yah, dari pada saya ceramah ngalor-ngidul, dibawah ini ada teks dan video puisi karangan Gus Mus yang paling saya sukai. sampai saat ini, ini puisi paling josss ( menurut saya ).




“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”

Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana
-1987-
Read more ...

Selasa, 08 November 2016

Tentang Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim

source : insists.id

Jumat tanggal 4 November 2016 lalu, disaat banyak umat muslim ikut ambil bagian dalam unjuk rasa atau demo, yang saya kira itu sangat dahsyat, saya memilih mengikuti kuliah Agama dan Tata Politik di kelas. Pembahasan di kelas saat itu adalah perdebatan panjang tentang dasar negara di Indonesia. Tarik-menarik paling kuat dalam perdebatan itu adalah terkait dengan posisi agama dalam dasar negara itu. Ada kekuatan politik yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara, dan mengupayakan hal itu baik melalui jalur parlementer maupun ekstra parlementer. 

Tapi dalam sesi kuliah, tersebut salah satu tokoh pergerakan, tokoh intelektual muslim, yang menarik bgi saya untuk, minimal mengetahui siapa beliau, dan bagaimana kiprah beliau. Dialah Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Seorang tokoh pergerakan dan tokoh intelektual muslim, yang mungkin namanya jarang terdengar, namun kontribusi dan kiprahnya sangat besar. berikut saya copas-kan dua artikel yang bisa memberi sedikit gambaran tentang beliau (saya tidak sempat menulis ulang atau mem-parafrasekan tulisan dibawah ini, tapi sudah dicantumkan sumber rujukannya).


Tahun 2008 mungkin bisa disebut sebagai tahun belasungkawa bagi Indonesia. Beberapa putra terbaik bangsa berpulang ke haribaan Sang Pencipta.
Khusus bagi kalangan aktivis gerakan Islam, duka mendalam terasa amat menyesakkan dada karena satu demi satu tokoh-tokoh pentingnya wafat. Setelah Prof Nurcholish Madjid (20/8/2005), Prof Deliar Noer (18/6/2008), kini Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim menyusul wafat pada hari Sabtu (2/8) karena penyakit stroke yang sudah cukup lama dideritanya.
Bagi kalangan aktivis gerakan Islam dan intelektual Muslim, kepergian Bang Imad panggilan akrab sang cendekiawan jelas kehilangan besar. Dr Imaduddin salah satu tokoh utama yang mewakili generasi baru intelektual Muslim yang muncul sejak dekade 1970-an, suatu lapisan kelompok terpelajar yang di kemudian hari memberi kontribusi besar bagi terbentuknya struktur baru masyarakat Muslim Indonesia, sekaligus membawa pengaruh signifikan terhadap dinamika sosial-politik di pentas nasional.
Lahir pada 21 April 1931 di Langkat, Sumatra Utara, dari keluarga terpelajar dan terpandang, ayah seorang pendidik dan hakim agama lulusan Universitas Al-Azhar dan ibu keturunan bangsawan kesultanan Riau, Dr Imaduddin sejak muda sudah memiliki bakat cemerlang dan mempunyai orientasi kuat pada aktivisme dan gerakan Islam. Kecenderungan ini tentu lantaran pengaruh sang ayah yang menjadi salah satu pemimpin teras Masjumi pada zaman itu.
Sebagai anggota keluarga aristokrasi Melayu, Imaduddin punya social privilege untuk menempuh pendidikan di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandische School (HIS). Ketika masih di sekolah menengah, dia menjadi anggota tentara pelajar Muslim, Hizbullah, yang bergerak di masa perjuangan kemerdekaan. Setelah menamatkan pendidikan menengah, dia memendam cita-cita besar melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mendalami teknik elektro setelah terkesan pidato Bung Hatta mengenai pentingnya bidang ilmu tersebut bagi bangsa Indonesia di masa depan.
Di kampus ITB bakat cemerlang dan orientasi aktivisme Imaduddin menemukan lahan subur untuk berkembang. Dia sosok intelektual Muslim berkarakter kuat dan berintegritas tinggi yang memiliki komitmen besar dalam perjuangan Islam yang uniknya justru ditempuh melalui perguruan tinggi sekuler. Bahkan, proses pembentukan dan pengasahan talenta intelektual yang kemudian menjadikan seorang Imaduddin sebagai cendekiawan Muslim terpandang justru melalui sistem pendidikan modern-sekuler di Barat, ketika melanjutkan sekolah jenjang master (MSc) dan doktor (PhD) di Iowa State University, Amerika.
Keterlibatan Imaduddin dalam gerakan Islam berpusat di dua tempat, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Masjid Salman-ITB. Di HMI, dia pernah memimpin Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) dan melakukan pendidikan kader dakwah bagi mubaligh-mubaligh muda, yang direkrut dari kalangan mahasiswa Islam. Di bawah kepemimpinan Imaduddin Abdulrahim, LDMI berkembang dan sangat populer di kalangan aktivis HMI, bahkan menyaingi popularitas PB-HMI yang menjadi induk LDMI. Di Masjid Salman-ITB, dia terlibat sejak perintisan, kepanitiaan pembangunan, sampai pengelolaan kegiatan masjid, dan menjadi wakil ketua takmir masjid.
Setelah tak lagi menjabat pimpinan LDMI, dia meneruskan program pelatihan dakwah melalui Masjid Salman-ITB yang mengundang minat besar aktivis gerakan Islam yang bukan semata unsur HMI, tetapi juga mahasiswa Islam secara umum di berbagai perguruan tinggi di Bandung yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Dia merancang secara khusus program pelatihan mubaligh untuk melahirkan kader-kader dakwah.
Semula program ini diberi nama Latihan Kader Dakwah (LKD), kemudian berubah Latihan Mujahid Dakwah (LMD), yang dimaksudkan sebagai kawah candradimuka untuk mendidik dan melatih calon-calon mujahid dalam perjuangan Islam. Ketika sentimen negatif masih kuat terhadap Islam, gerakan Islam, dan politik Islam antara dekade 1970-an dan 1980-an, kegiatan LKD-LMD yang dibina Imaduddin mengundang kecurigaan penguasa rezim Orde Baru, terutama kalangan militer yang secara nyata menunjukkan sikap anti-Islam politik.
Untuk menghindari tekanan politik, Imaduddin mengubah nama menjadi Studi Islam Intensif (SII), selain untuk memperluas cakupan program dan kegiatan yang tidak lagi terbatas pada dakwah, tetapi meliputi pemahaman keislaman dalam konteks luas. Dalam proses pelatihan LKD-LMD-SII, tiga hal penting yang selalu ditekankan: (1) pengetahuan dasar tentang Islam, (2) pananaman jiwa perjuangan dalam gerakan Islam, dan (3) komitmen terhadap pembangunan umat Islam. Mengingat pelatihan ini untuk melahirkan tokoh pendakwah dan mujahid Islam, rekrutmen kader dakwah dilakukan secara ketat melalui seleksi khusus dengan mempertimbangkan dua hal penting: (1) prestasi akademis yang mencerminkan daya intelektual dan (2) bakat kepemimpinan yang tinggi.
Kedua hal itu mutlak diperlukan karena para kader dakwah akan menjadi pelopor perjuangan Islam. Dia mengadaptasi model pelatihan kader dakwah dari organisasi Ikhwanul Muslimin pimpinan Hassan Al-Banna (Mesir) dan Jami’at-i-Islam pimpinan Abul A’la Maududi (Pakistan). Model pelatihan kader dakwah yang dikembangkan Imaduddin bukan saja mengundang minat aktivis mahasiswa Islam Indonesia, melainkan juga tokoh Muslim Malaysia. Terkesan oleh ceramah Imaduddin di Masjid Salman-ITB dan terpikat oleh model pendidikan dakwah LKD-LMD, seorang pejabat tinggi Pemerintah Malaysia secara khusus mengudangnya untuk melakukan pelatihan dakwah serupa, yang mula-mula berbasis di University Technology of Malaysia dan kemudian menyebar di berbagai perguruan tinggi besar seantero negeri.
Di antara banyak kader militan yang lahir adalah Anwar Ibarahim, yang di kemudian hari menjadi tokoh penting dalam panggung politik Malaysia, dengan karier politik cemerlang sampai terpilih menjadi timbalan perdana menteri. Terinspirasi oleh organisasi HMI melalui figur prominennya, Imaduddin Abdulrahim, aktivis mahasiswa Islam Malaysia merintis pembentukan organisasi Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) pada 1972, yang menandai kemunculan Islamic revivalism di negeri jiran dan menjadi jembatan-emas jalinan persahabatan antara tokoh-tokoh gerakan Islam Indonesia-Malaysia.
Ketokohan Dr Imaduddin Abdulrahim juga tampak sangat menonjol di kalangan intelektual Muslim seperti terlihat dalam proses pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Desember 1991. Kepeloporan Imaduddin ini mewakili aspirasi politik umat Islam ketika kelompok intelektual Muslim meningkat secara kuantitatif. Pertumbuhan pesat intelektual Muslim telah membentuk struktur piramida baru dalam strata sosial, yang mencerminkan lapisan masyarakat terpelajar Muslim dalam jumlah sangat besar. Dalam imajinasi Dr Imaduddin Abdulrahim, melalui ICMI diharapkan akan lahir pemimpin Islam dari kalangan intelektual yang berkomitmen tinggi dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Pengarang Inggris peraih hadiah Nobel Sastra, Vadiadhar Surajprasad Naipaul, ketika merekam dinamika gerakan Islam di Indonesia melukiskan pemimpin Islam sejati dalam imajinasi Imaduddin sebagai sosok pemimpin who lived according to the Quran, …who could stand in for the Prophet, …who knew the Prophet’s deeds so well that he would order affairs as the Prophet himself might have ordered them.” (lihat Among the Believers: An Islamic Journey, New York-Knopf, 1981).
Oleh :AMICH ALHUMAMI
Peneliti Sosial Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom.
Dimuat di harian Republika, 5 Agustus 2008
Artikel ini didapat dari

selanjutnya ada artikel menarik yang ditulis oleh Hidayat, M.T., Wendi Zarman, M.Si., Peneliti PIMPIN (InstitutPemikiran Islam dan Pembangunan Insan, Bandung). Tulisan ini didapat dari https://insists.id/dr-ir-imaduddin-abdulrahim/ . bisa memberikan informasi tambahan tentang Bang Imad
Bang Imad, begitu dia biasa disapa. Namanya sangat tidak asing lagi bagi para intelektual Muslim di Indonesia. Kiprahnya dalam dunia dakwah di kampus sangat fenomenal. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Banyak mahasiswa dan sarjana berubah pikiran setelah mendengar ceramah Bang Imad atau membaca tulisannya.
Bang Imad! Nama lengkapnya adalah Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Ia lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, pada 21 April 1931/ 3 Zulhijjah 1349H. Ayahnya, Haji Abdulrahim, adalah seorang ulama yang juga tokohMasyumi di Sumatera Utara. Sedangkan ibunya, Syaifiatul Akmal, seorangwanita yang merupakan cucu dari sekretaris Sultan Langkat.
Bang Imad dibesarkan dalam tradisi pendidikan Islam yang kuat. Sejak kecil ayahnya sendiri yang langsung mengajarnya al-Qur’an,  berupa tajwid dan tafsir setiap usai shalat subuh.Dalam mengkaji al-Qur’an, ayahnya sering menyelipkan berbagai cerita tentang tokoh-tokoh besar Islam. Cara itu sangat membekas dalam diri Bang Imad, sehingga membentuk semangat perjuangan Islam. Ayahnya juga menyediakan banyak buku dan majalah keislaman di rumah sebagai sumber bacaan baginya. Sementara ibunya berulang-ulang mengingatkan, “Imaduddin”  itu berarti ‘penegak tiang agama’. Ia mengingatkan,  agar anaknya selalu menegakkan shalat.
Didikan kuat sejak kecil, berbekas dalam diri Imaduddin, sehingga tidaklah mengherankan, sedari muda Imaduddin telah memiliki ghirah keislaman yang menyala-nyala. Semangat ini kemudian membawanya berkecimpung dalam berbagai kegiatan dakwah dan perjuangan Islam.
Meskipun aktif dalam kegiatan Islam sejak muda, Imaduddin tidak meneruskan pendidikannya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Ia justru memilih kuliahTeknik Elektro di ITB. Pilihan ini didukung oleh ketekunan dan kecerdasannya semasa di bangku sekolah.Sejak HIS hingga SMA ia selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya. Demikianlah yang diajarkan ayahnya untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqulkhairat).
Meskipun belajar di perguruan tinggi secular, semangat perjuangan Islam Bang Imad bukannya luntur, tapi malah semakin membara. Begitu diterima sebagai mahasiswa, ia langsung bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bandung dan menggalakkan kegiatan mengkaji al-Qur’an dan tafsirnya di kalangan para aktivis.
Tahun 1963 Bang Imad berangkat keluar negeri melanjutkan S2-nya di Iowa State University, Ames, Iowa, AmerikaSerikat. Tahun 1965 iamenyelesaikan S2-nya dan langsung melanjutkan S3-nya di Chicago. Baru dua bulan di Chicago Bang Imad mendapat kabar tentang terjadinya pemberontakan PKI. Beberapa diindikasikan terlibat sehingga terjadi penangkapan terhadap sejumlah dosen ITB. Akibatnya, terjadi kekosongan pengajar di berbagai jurusan. Bang Imad kemudian diminta pulang untuk membantu mengatasi kelangkaan pengajar tersebut. Sebagai aktivis, Bang Imad memberanikan diri menjadi dosen Agama Islam, disamping juga mengajar pada mata kuliah lain di DepartemenTeknik Elektro.
Konsistensinya dengan ajaran Tauhid membuatnya tidak segan-segan mengritik hal-hal yang dirasanya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Termasuk pihak penguasa, tak luput dari kritik kerasnya. Tidak mengherankan banyak orang menganggap dirinya sebagai tokoh garis keras. Buku Tauhid yang dikarang oleh Bang Imad, telah menginspirasi ribuan generasi muda Muslim di Indonesia.
Tanggal 23 Mei 1978, seusai memberikan ceramah di Masjid Salman ITB, sekelompok orang berpakaian preman datang kerumahnya. Ia lalu dijebloskan ke penjara di samping Taman Mini Indonesia Indah, selama empat bulan. Akhirnya,  Prof. Dr. Dodi Tisna Amidjaya dating, meminta kepada Pengkopkamtib Sudomo,  waktu itu, agar membebaskan Bang Imad.
Kiprah Bang Imad dalam dakwah sampai menembus dunia internasional. Ia aktif di lembaga-lembaga International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) danWorld Assembly Moslem Youth (WAMY).
Tahun 1970, setelah  hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali normal, Bang Imad menjadi dosen tamu di Universitas Teknologi Malaysia.  Di sini, ia terus menggalakkan dakwah. Saat merancang kurikulum, ia sengaja memasukkan pelajaran agama sebagai mata kuliah wajib agar mahasiswa yang dibentuk di sana bukan hanya menguasai sains modern tetapi juga memahami agama dengan baik.
Mulanya hal ini ditentang oleh rektor  karena tidak masuk dalam program pemerintah. Namun Bang Imad bersikeras dan mengancam pulang ke Indonesia jika usulannya ditolak. Dalam kuliah pertama yang juga dihadiri rektor, dosen, dan mahasiswa,  Bang Imad meyakinkan bahwa agama Islam tidak bertentangan dengan sains dan teknologi. Ceramah ini ditanggapi positif dan menginspirasi banyak orang Malaysia.
Kuliah-kuliah yang disampaikan Bang Imad ternyata member kesan yang dalam bagi mahasiswa dan dosen, sehingga beberapa di antaranya meminta Bang Imad membuat pelatihan sejenis Latihan Mujahid Dakwah (LMD) sebagaimana yang pernah dilakukannya di ITB. Jika di Indonesia,  pelatihan ini diberi nama LMD, di Malaysia pelatihan ini digelari LatihanTauhid. Peserta pelatihan ini diwajibkan membawa al-Qur’an ke kampus. Pelatihan ini membawa perubahan besar di kalangan mahasiswa Malaysia. Sebagaicontoh, mahasiswa yang sebelumnya merasa malu membawa al-Qur’an dan membungkusnya kedalam majalah, setelah pelatihan ini menjadi bangga membawa al-Qur’an ke kampus.
Meskipun sempat tertunda, Bang Imad akhirnya meraih Doktor Filsafat Teknik Industri dan Engineering Valuation dari Iowa State University. Jasanya dalam dunia dakwah sangatlah besar. Pada 2 Agustus 2008, Bang Imad dipanggil Allah SWT. Bang Imad telah berjasa besar dalam upaya mendekatkan antara sains dengan Islam, antara pribadi saintis Muslim dengan Islam itu sendiri.  Bang Imad telah melakukan rintisan besar dalam dunia dakwah di kampus.

Generasi berikutnya berkewajiban melanjutkan perjuangannya. 
Read more ...

Senin, 07 November 2016

Kepatuhan dalam Barisan


Ketika telah berada dalam sebuah barisan perjuangan, salah satu konsekuensi yang muncul adalah kita bergerak secara bersama, menyingkirkan ego, mengutamakan tujuan jamaah daripada kepentingan pribadi yang kadang hanya sebatas ambisi politis, meskipun tujuan jamaah juga tidak bisa lepas dari ambisi politis pula.
Keputusan jamaah menunjuk seorang dari dua pilihan yang sama kualitasnya adalah hal biasa. Jika kualitas sama, kapasitas sama, maka perlu dipertimbankan mudhorot paling kecil yang akan muncul dari pemilihan salah satu orang tersebut.
Jika telah terpilih salah satu dari kedua kandidat tersebut, maka mestinya kandidat lain menerima dengan legowo keputusan jamaah yang akan mengusung calon terpilih dalam kontestasi di publik. Ia harusnya sadar bahwa memang orang yang terpilih adalah yang terbaik dari jamaah untuk ditawarkan kepada publik. Konsekuensinya adalah, ia juga harus mendukung orang yang terpilih tersebut dalam kontestasi di ranah publik. Karena keduanya adalah bagian dari jamaah, berada dalam satu barisan.
Kadang, ada saja orang yang tidak menerima keputusan jamaah, kemudian memilih untuk mencari dukungan diluar jamaah. Hanya untuk memenuhi ambisi kekuasaannya. Ambisi yang hanya dilandasi dengan egoisme. Keingingan pribadi untuk membuktikan bahwa dirinya hebat. Menawarkan visi yang lebih wah, lebih menjanjikan, lebih populis. Padahal itu hanya kamuflase kepentingan pribadinya, egoisme, dan nafsu kekuasaan politik.
Harusnya, jika kita telah berkomitmen pada sebuah barisan, maka konsensus jamaah menjadi keputusan yang harus diterima. Karena ia punya tujuan yang mulia. Kita yang telah menyatakan diri sebagai bagian dari barisan tersebut tentu telah memiliki visi yang sama, visi jamaah. Sehingga siapapun yang ditunjuk untuk mewakili jamaah, berarti ia akan mengusung visi jamaah.
Maka, ketika dalam kontestasi internal jamaah, siapapun yang memenangkannya sudah pasti akan dibebankan mengusung visi jamaah, yang kemudian ditawarkan kepada publik. Dan yang kalah, dengan legowo menerima keputusan bahwa saudaranya dalam barisan itulah yang terbaik untuk diusung oleh jamaah, serta dengan semangat pula mendukung saudaranya yang telah terpilih.  
Read more ...

Minggu, 06 November 2016

Membangung Dari Bawah : Penyelamatan Wilayah Pesisir Utara Jawa Dengan Konservasi Mangrove

“Banyak orang yang tahu, tapi hanya sedikit yang paham. Banyak orang yang paham, tapi hanya sedikit yang mau bergerak. Banyak orang yang mau bergerak, tapi hanya sedikit yang mau menggerakkan. Banyak orang yang mau menggerakkan, tapi hanya sedikit yang bekerja demi pengabdian”

Ungkapan diatas adalah hal yang dapat saya refleksikan dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat atau KKN PPM UGM unit JTG-09 yang saya ikuti pada bulan Juni-Agustus 2016 lalu, tepatnya di dusun Pandansari, desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah. Selain melaksanakan pembelajaran dan pemberdayaan bersama masyarakat, ternyata saya dan teman-teman tim KKN disuguhkan dengan geliat pembangunan yang sedang digencarkan oleh mereka yang memiliki kepedulian untuk mengabdi tanpa menunggu uluran tangan pemerintah. Sebagai sebuah desa yang tereletak di pesisir pantai utara Jawa, desa Kaliwlingi khususnya dusun Pandansari menghadapi persoalan degradasi kualitas lingkungan. Tahun 1980-an dusun Pandansari adalah dusun yang asri dengan hamparan tanaman mangrove di pesisir Pandansari yang menambah hijau kawasan ini. Pada tahun 1990an, Tingginya harga udang windu membuat masyarakat berpikir untuk membudidayakan udang windu yang pada akhirnya mengorbankan hamparan mangrove di wilayah pesisir menjadi petakan-petakan tambak udang.    

Keberhasilan dirasakan oleh masyarakat dengan banyaknya hasil tambak yang diekspor ke Jepang. Namun kondisi ini hanya bertahan dari tahun 1987-1997. Runtuhnya harga udang windu dari Rp.40 ribu per kilogram menjadi Rp 6 ribu per kilogram membuat perekonomian warga menjadi terhimpit. Ditambah lagi tanaman mangrove yang pada awalnya dapat menghambat terjangan pasang air laut ke darat kini telah habis diganti dengan tambak-tambak warga. Saat pasang, air laut masuk ke tambak dan pemukiman. Akibatnya, ratusan hektar tambak rusak dan tenggelam. Abrasi yang menggerus daratan pantai dukuh Pandansari desa Kaliwlingi sejak tahun 1985–2010 berkisar 850 Ha. Jarak perumahan warga yang dulunya 4 km dari bibir pantai menjadi hanya 500m. Ancaman gelombang ari laut dan rob semakin menghantui warga dusun Pandansari, 5 hingga 6 kali dalam setahun. Efek domino bagi masyarakat berupa hilangnya mata pencaharian, pengangguran, kemiskinan, urbanisasi, bahkan banyak pemuda yang memutuskan untuk menjadi TKI di luar negeri.

Kondisi lingkungan yang telah memprihatinkan dan membawa efek domino ini kemudian menggugah hati seorang tokoh bernama Bapak Mashadi untuk bergerak menyelamatkan lingkungan pesisir yang telah terkena dampak abrasi. Satu upaya yang dilakukan adalah membakar semangat warga dusun pandansari untuk mau bergerak menyelamatkan lingkungan yang telah rusak. Salah satu cara pandang yang dipegang oleh pak Mashadi adalah perlu ada yang mau mengompori warga untuk bergerak. Maka ia putuskan untuk bergerak dari bawah, bergerak dari akar rumput, untuk memulai sebuah perubahan bagi kondisi lingkungan yang lebih baik dan tentu dibarengi dengan perubahan kondisi perekonomian masyarakat yang lebih baik pula.

Pada tahun 2006, dibentuklah  Paguyuban Mekarsari yang diprakarsai oleh Bapak Mashadi dan seorang tokoh masyarakat bernama Bapak Rusjan atau biasa disapa pak Manten (sebutan ini diperoleh karena beliau adalah mantan kepala desa Kaliwlingi). Mulailah merencanakan untuk melakukan konservasi Mangrove secara besar-besaran dan juga menjadikannya sebagai kawasan ekowisata Mangrove di dukuh ini. Apa saja upaya yang telah lakukan? Mulai dari kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pengelolaan wilayah pesisir, pemberdayaan masyarakat pesisir dan penguatan kelembagaan kelompok, kampanye penyadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, pembelajaran dan pendidikan lingkungan bagi pelajar dan perlindungan Kawasan hutan mangrove. Selain itu,  berhasil menanam 2.260.000 batang mangrove seluas 200 hektare, dan saat ini sedang mengejar target untuk sampai pada angka 3 juta batang mangrove. Semua kegiatan diatas selain sebagai upaya penyelamatan lingkungan, juga sebagai upaya pemberdayaan masyarakat lokal dan pemanfaatan potensi lokal. Dari upaya yang telah dilakukan, terdapat proses empowerment yang membuat masyarakat ikut merasa dilibatkan dalam upaya penyelamatan lingkungan dan upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Karena aspek pelibatan masyarakat merupakan hal terpenting dalam proses pemberdayaan.
Penanaman bibit mangrove bersama tim KKN PPM UGM



Manfaat yang didapat dari penyelamatan wilayah pesisir dengan penanaman mangrove berdampak positif pada terjaganya wilayah pesisir dari abrasi yang selalu mengancam sebagian wilayah budidaya perikanan. Terbentuknya sabuk hijau pantai di sebagian wilayah pesisir Kabupaten Brebes. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga ekosistem pesisir, dampak global warming, dan perubahan iklim. Pemanfaatan potensi lokal yang terabaikan untuk peningkatan ekonomi masyarakat pesisir. Area tambak dapat di rehabilitasi untuk kemudian dijadikan mata pencaharian masyarakat nelayan dan petani sawah. Peningkatan jumlah tangkapan, jarak dan waktu tangkapan nelayan juga makin dekat dan cepat. Dari semua itu juga banyak membantu pemerintah untuk memberdayakan masyarakat serta menyadarkan pentingnya menjaga lingkungan hidup yang mereka tempati.

Pengembangan lebih lanjut kawasan konservasi mangrove

Kawasan konservasi yang pada awalnya digagas untuk menyelamatkan lingkungan kemudian mulai dikembangkan lagi untuk dijadikan objek wisata, tentu dengan tidak meninggalkan tujuan utamanya yakni memperbaiki kualitas lingkungan hidup.  Kawasan wisata Mangrove ini terbilang masih baru dan sedang dalam proses pegerjaan yang dimulai dari bulan Juni 2016 dan ditargetkan selesai pada Desember 2016. Dana yang dikucurkan untuk proyek ini pun cukup besar hampir menyentuh angka 2 miliar rupiah, dengan pendanaan dari pemerintah kabupaten Brebes. Pembangunan tracking mangrove merupakan fasilitas utama yang sedang dibangun dengan target panjang mencapai 1 kilometer. Selain itu juga akan dibangun mushola dan tempat peristirahatan di sekitaran kawasan tracking. Meskipun pembangunan kawasan wisata mangrove ini sedang berlangsung, sudah banyak wisatawan yang berdatangan untuk melihat kawasan konservasi mangrove ini. Ketika masa libur lebaran Idul fitri tahun ini total pengunjung mencapai angka 800 orang perharinya. Untuk hari-hari biasa angka pengunjung memang hanya dikisaran 40-50 orang, dan sekitar 100-200 orang diakhir pekan. Tentu ini angka yang cukup besar untuk kawasan wisata yang baru saja dirintis bahkan sedang dalam proses pembangunan. Kita tentu perlu optimis bahwa angka ini akan terus bertambah ketika pembangunan kawasan wisata ini rampung dikerjakan.     


Para penggiat lingkungan ini juga mendirikan Sekolah alam MHRC (Martani Hadi Research Center), sebuah sekolah untuk memperdalam ilmu mengenai kekayaan kelautan, budidayanya serta pengolahannya. Konsep yang dibawa adalah sekolah dengan konsep informal, pembelajaran dilaksanakan dengan langsung turun ke lapangan untuk melakukan praktik. Jika pada sekolah formal siswa ataupun mahasiswa diberikan dan dikenalkan dengan setumpuk teori, maka di sekolah alam inilah tempat untuk pengaplikasian teori-teori yang diajarkan di sekolah formal. Siapapun bisa ikut serta menjadi siswa di sekolah ini. Siapapun yang datang, bisa langsung terjun untuk mendapatkan ilmu praktik lapangan di bidang perairan. Peserta diklat akan dikenalkan dan diberikan pelajaran yang bersifat praktikal mengenai berbagai macam budidya seperti kepiting soka, udang, sidat, bandeng, kerang, dll. Kami para mahasiswa KKN PPM UGM yang sedang menjalankan program selama dua bulan pun juga menjadi siswa dari sekolah alam ini. Sembari melaksanakan kegiatan pemberdayaan kepada masyarakat, juga mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat.


Salah satu pelajaran berharga dari semua proses ini adalah statement pak Mashadi;  “disini tidak ada yang namanya Super-Man, yang ada adalah Super-Tim”, dari situ kita dapat belajar bahwa untuk melakukan sebuah perubahan dengan berbagai inovasi, peran, dan kerjasama tiap individu dalam sebuah kelompok sangat dikedepankan. Meskipun ada tokoh penggerak yang memiliki peran sentral, namun kerjasama tim menjadi penentu keberhasilan sebuah kelompok untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Atas konsistensinya bergerak di lingkungan sejak Tahun 2005 samapi sekarang, mampu melakukan kreativitas dan inovasi kegiatan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam lokal, sumber daya manusia di sekitar lokasi kegiatan, serta komunitas masyarakat lainnya, pak Mashadi akhirnya menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 2015. Kemampuan untuk berkolaborasi dengan segenap elemen masyarakat dari berbagai kalangan dalam mengerakan kegiatannya seperti, pemerintah, kelompok basis, LSM Nasional maupun Internasional, Perguruan Tinggi, Pelajar, Masyarakat Seniman dan budayawan sekitar lokasi kegiatan. Juga menggerakan kegiatan ekonomi masyarakat lokal dalam kegiatan rehabilitasi Mangrove.

Bagi pak Mashadi, perjuangannya belum berakhir, meski telah menerima penghargaan Kalpataru, tujuan akhir yang ingin dicapainya adalah mengubah hidup masyarakat pesisir Brebes lebih baik. Ke depan, ia berkeinginan Dukuh Pandansari yang menjadi tempat pengabdiannya itu menjadi kampung wisata mangrove yang melingkupi wisata edukasi, penelitian, ekologi, dan akuakultur, dengan mengutamakan kearifan lokal dan budaya setempat. Dan tujuan itu mulai mengarah pada kenyataan dengan adanya wisata mangrove dan sekolah alam yang telah dibangun. Sedikit demi sedikit, secara perlahan, mimpi itu akan mulai terwujud.

Lalu bagaimanakah peran pemerintah?
Ya, ini menjadi pertanyaan dan tantangan bagi pemerintah. Upaya penyelamatan wilayah pesisir di kabupaten Brebes terutama di dusun Pandansari ini banyak dilakukan secara mandiri oleh masyarkat yang bergerak bersama-sama dalam paguyuban Mekarsari. Kerjasama banyak dilakukan malah dengan pihak-pihak non-pemerintahan. CSR perusahaanlah yang banyak berdatangan untuk ikut membantu upaya penyelamatan lingkungan ini. Beberapa diantaranya adalah perusahaan besar asal Jepang yakni Toshiba dan Tokiomarine Asuransi, selain itu juga ada Organization for Industrial Spiritual & Cultural Advencement (OISCA) yang turut serta membantu upaya masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan dan menjadikan dusun Pandansari sebagai kawasan konservasi mangrove. Pemerintah memang menjadi fasilitator bagi perusahaan dan lembaga yang ingin turut serta dalam pembangunan, namun harusnya pemerintah juga dapat lebih ikut turun tangan secara langsung dalam upaya yang telah dilaksanakan oleh masyarakat.
Proyek pembangunan tracking mangrove yang didanai oleh Pemkab Brebes


Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat melalui Kementrian Lingkungan Hidup memang telah memberikan sokongan pada masyarakat untuk upaya penyelamatan lingkungan di dusun Pandansari ini. Pemkab Brebes melalui Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga telah menggelontorkan dana 1,971 miliar untuk pembangunan tracking mangrove. Selain itu beberapa kapal penyeberangan yang digunakan untuk menuju wisata mangrove juga dibeli dengan dana dari Kementerian Lingkungan Hidup. Program lain dari Direktorat Pesisir dan Laut dibawah Kementerian Lingkungan Hidup berupa program kegiatan rehabilitasi pesisir, rehabillitasi pesisir utara jawa, pembangunan hybrid engineering, dan rehabilitasi sumber daya hayati. Semuanya didanai dari APBN pusat.
Perlu menjadi catatan adalah, bahwa pemerintah baru mau turun tangan setelah masyarakat membangun dengan susah payah dari awal. Setelah mulai tampak sebuah tanda-tanda keberhasilan, pemerintah baru mulai melirik upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat yang mulai membangun dan menyelamatkan lingkungan sejak tahun 2006-an, baru beberapa tahun belakangan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tentu ini harus menjadi bahan refleksi bagi pemerintah. Harusnya pemerintah mengawal dan memberikan dukungan sejak awal ketika masyarakat mulai bergerak. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan kapasitas yang dapat berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat untuk bisa berdaya dalam upaya penyelamatan lingkungan. Pada sisi yang lebih konkrit lagi pemberian bantuan materil secara fisik. Sehingga masyarkat benar-benar dapat merasakan kehadiran negara yang harusnya memberikan pelayanan dan pemberdayaan.
Agaknya kita belajar bahwa orang-orang yang mau bergerak untuk pengabdianlah yang mampu menggugah pemerintah untuk mau melirik persoalan yang kadang tidak dijadikan priorotas dalam pembangunan. 


“Yang saya lakukan semata-mata untuk menyelamatkan bumi tempat kita hidup”  (Mashadi)

Tulisan ini terinspirasi dari pelaksanaan program KKN PPM UGM 2016 unit JTG-09 Desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah.
Referensi :
Rhonda Phillips, Robert H. Pittman, An Introduction to Community Development, Routledge, 2009
Warta KEHATI, edisi November 2012 – Januari 2013
http://jatengprov.go.id/id/newsroom/mashadi-peraih-kalpataru-2015

http://brebesnews.co/2014/10/tahun-2015-sawojajar-dan-kaliwlingi-jadi-tempat-wisata-mangrove/
sumber video : https://www.youtube.com/watch?v=BNdpUZuIWJk

Read more ...

Sabtu, 05 November 2016

Tuhan, dia milik-Mu


Tuhan...dia cantik
Tuhan...dia anggun
Tuhan...dia teduh
Tuhan...dia meneduhkan
Tuhan...dia menyejukkan
Tuhan...dia bersahaja
Tuhan...dia pintar
Tuhan...dia pejuang
Tuhan...dia berkerudung panjang
Tuhan...dia beragama dengan baik
Tuhan...begitu indah Engkau ciptakan dia, rupa dan akhlaknya
Tuhan...jagakan selalu dirinya ya
Tuhan...ikat hatinya agar selalu terpaut hanya pada-Mu
Tuhan...Engkau bilang bahwa Engkau Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemurah
Tuhan...Engkau bilang bahwa Engkau Penguasa Segalanya, Engkau Pemilik Segalanya, Engkau Sang Raja
Tuhan...dia itu milik-Mu kan
Tuhan...cukuplah aku meminta dia hanya kepada-Mu

Kan dia milik-Mu


Gadis anggun nan bersahaja yang teduh-meneduhkan


Read more ...
Designed By