Breaking News

Selasa, 08 November 2016

Tentang Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim

source : insists.id

Jumat tanggal 4 November 2016 lalu, disaat banyak umat muslim ikut ambil bagian dalam unjuk rasa atau demo, yang saya kira itu sangat dahsyat, saya memilih mengikuti kuliah Agama dan Tata Politik di kelas. Pembahasan di kelas saat itu adalah perdebatan panjang tentang dasar negara di Indonesia. Tarik-menarik paling kuat dalam perdebatan itu adalah terkait dengan posisi agama dalam dasar negara itu. Ada kekuatan politik yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara, dan mengupayakan hal itu baik melalui jalur parlementer maupun ekstra parlementer. 

Tapi dalam sesi kuliah, tersebut salah satu tokoh pergerakan, tokoh intelektual muslim, yang menarik bgi saya untuk, minimal mengetahui siapa beliau, dan bagaimana kiprah beliau. Dialah Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Seorang tokoh pergerakan dan tokoh intelektual muslim, yang mungkin namanya jarang terdengar, namun kontribusi dan kiprahnya sangat besar. berikut saya copas-kan dua artikel yang bisa memberi sedikit gambaran tentang beliau (saya tidak sempat menulis ulang atau mem-parafrasekan tulisan dibawah ini, tapi sudah dicantumkan sumber rujukannya).


Tahun 2008 mungkin bisa disebut sebagai tahun belasungkawa bagi Indonesia. Beberapa putra terbaik bangsa berpulang ke haribaan Sang Pencipta.
Khusus bagi kalangan aktivis gerakan Islam, duka mendalam terasa amat menyesakkan dada karena satu demi satu tokoh-tokoh pentingnya wafat. Setelah Prof Nurcholish Madjid (20/8/2005), Prof Deliar Noer (18/6/2008), kini Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim menyusul wafat pada hari Sabtu (2/8) karena penyakit stroke yang sudah cukup lama dideritanya.
Bagi kalangan aktivis gerakan Islam dan intelektual Muslim, kepergian Bang Imad panggilan akrab sang cendekiawan jelas kehilangan besar. Dr Imaduddin salah satu tokoh utama yang mewakili generasi baru intelektual Muslim yang muncul sejak dekade 1970-an, suatu lapisan kelompok terpelajar yang di kemudian hari memberi kontribusi besar bagi terbentuknya struktur baru masyarakat Muslim Indonesia, sekaligus membawa pengaruh signifikan terhadap dinamika sosial-politik di pentas nasional.
Lahir pada 21 April 1931 di Langkat, Sumatra Utara, dari keluarga terpelajar dan terpandang, ayah seorang pendidik dan hakim agama lulusan Universitas Al-Azhar dan ibu keturunan bangsawan kesultanan Riau, Dr Imaduddin sejak muda sudah memiliki bakat cemerlang dan mempunyai orientasi kuat pada aktivisme dan gerakan Islam. Kecenderungan ini tentu lantaran pengaruh sang ayah yang menjadi salah satu pemimpin teras Masjumi pada zaman itu.
Sebagai anggota keluarga aristokrasi Melayu, Imaduddin punya social privilege untuk menempuh pendidikan di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandische School (HIS). Ketika masih di sekolah menengah, dia menjadi anggota tentara pelajar Muslim, Hizbullah, yang bergerak di masa perjuangan kemerdekaan. Setelah menamatkan pendidikan menengah, dia memendam cita-cita besar melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mendalami teknik elektro setelah terkesan pidato Bung Hatta mengenai pentingnya bidang ilmu tersebut bagi bangsa Indonesia di masa depan.
Di kampus ITB bakat cemerlang dan orientasi aktivisme Imaduddin menemukan lahan subur untuk berkembang. Dia sosok intelektual Muslim berkarakter kuat dan berintegritas tinggi yang memiliki komitmen besar dalam perjuangan Islam yang uniknya justru ditempuh melalui perguruan tinggi sekuler. Bahkan, proses pembentukan dan pengasahan talenta intelektual yang kemudian menjadikan seorang Imaduddin sebagai cendekiawan Muslim terpandang justru melalui sistem pendidikan modern-sekuler di Barat, ketika melanjutkan sekolah jenjang master (MSc) dan doktor (PhD) di Iowa State University, Amerika.
Keterlibatan Imaduddin dalam gerakan Islam berpusat di dua tempat, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Masjid Salman-ITB. Di HMI, dia pernah memimpin Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) dan melakukan pendidikan kader dakwah bagi mubaligh-mubaligh muda, yang direkrut dari kalangan mahasiswa Islam. Di bawah kepemimpinan Imaduddin Abdulrahim, LDMI berkembang dan sangat populer di kalangan aktivis HMI, bahkan menyaingi popularitas PB-HMI yang menjadi induk LDMI. Di Masjid Salman-ITB, dia terlibat sejak perintisan, kepanitiaan pembangunan, sampai pengelolaan kegiatan masjid, dan menjadi wakil ketua takmir masjid.
Setelah tak lagi menjabat pimpinan LDMI, dia meneruskan program pelatihan dakwah melalui Masjid Salman-ITB yang mengundang minat besar aktivis gerakan Islam yang bukan semata unsur HMI, tetapi juga mahasiswa Islam secara umum di berbagai perguruan tinggi di Bandung yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Dia merancang secara khusus program pelatihan mubaligh untuk melahirkan kader-kader dakwah.
Semula program ini diberi nama Latihan Kader Dakwah (LKD), kemudian berubah Latihan Mujahid Dakwah (LMD), yang dimaksudkan sebagai kawah candradimuka untuk mendidik dan melatih calon-calon mujahid dalam perjuangan Islam. Ketika sentimen negatif masih kuat terhadap Islam, gerakan Islam, dan politik Islam antara dekade 1970-an dan 1980-an, kegiatan LKD-LMD yang dibina Imaduddin mengundang kecurigaan penguasa rezim Orde Baru, terutama kalangan militer yang secara nyata menunjukkan sikap anti-Islam politik.
Untuk menghindari tekanan politik, Imaduddin mengubah nama menjadi Studi Islam Intensif (SII), selain untuk memperluas cakupan program dan kegiatan yang tidak lagi terbatas pada dakwah, tetapi meliputi pemahaman keislaman dalam konteks luas. Dalam proses pelatihan LKD-LMD-SII, tiga hal penting yang selalu ditekankan: (1) pengetahuan dasar tentang Islam, (2) pananaman jiwa perjuangan dalam gerakan Islam, dan (3) komitmen terhadap pembangunan umat Islam. Mengingat pelatihan ini untuk melahirkan tokoh pendakwah dan mujahid Islam, rekrutmen kader dakwah dilakukan secara ketat melalui seleksi khusus dengan mempertimbangkan dua hal penting: (1) prestasi akademis yang mencerminkan daya intelektual dan (2) bakat kepemimpinan yang tinggi.
Kedua hal itu mutlak diperlukan karena para kader dakwah akan menjadi pelopor perjuangan Islam. Dia mengadaptasi model pelatihan kader dakwah dari organisasi Ikhwanul Muslimin pimpinan Hassan Al-Banna (Mesir) dan Jami’at-i-Islam pimpinan Abul A’la Maududi (Pakistan). Model pelatihan kader dakwah yang dikembangkan Imaduddin bukan saja mengundang minat aktivis mahasiswa Islam Indonesia, melainkan juga tokoh Muslim Malaysia. Terkesan oleh ceramah Imaduddin di Masjid Salman-ITB dan terpikat oleh model pendidikan dakwah LKD-LMD, seorang pejabat tinggi Pemerintah Malaysia secara khusus mengudangnya untuk melakukan pelatihan dakwah serupa, yang mula-mula berbasis di University Technology of Malaysia dan kemudian menyebar di berbagai perguruan tinggi besar seantero negeri.
Di antara banyak kader militan yang lahir adalah Anwar Ibarahim, yang di kemudian hari menjadi tokoh penting dalam panggung politik Malaysia, dengan karier politik cemerlang sampai terpilih menjadi timbalan perdana menteri. Terinspirasi oleh organisasi HMI melalui figur prominennya, Imaduddin Abdulrahim, aktivis mahasiswa Islam Malaysia merintis pembentukan organisasi Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) pada 1972, yang menandai kemunculan Islamic revivalism di negeri jiran dan menjadi jembatan-emas jalinan persahabatan antara tokoh-tokoh gerakan Islam Indonesia-Malaysia.
Ketokohan Dr Imaduddin Abdulrahim juga tampak sangat menonjol di kalangan intelektual Muslim seperti terlihat dalam proses pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Desember 1991. Kepeloporan Imaduddin ini mewakili aspirasi politik umat Islam ketika kelompok intelektual Muslim meningkat secara kuantitatif. Pertumbuhan pesat intelektual Muslim telah membentuk struktur piramida baru dalam strata sosial, yang mencerminkan lapisan masyarakat terpelajar Muslim dalam jumlah sangat besar. Dalam imajinasi Dr Imaduddin Abdulrahim, melalui ICMI diharapkan akan lahir pemimpin Islam dari kalangan intelektual yang berkomitmen tinggi dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Pengarang Inggris peraih hadiah Nobel Sastra, Vadiadhar Surajprasad Naipaul, ketika merekam dinamika gerakan Islam di Indonesia melukiskan pemimpin Islam sejati dalam imajinasi Imaduddin sebagai sosok pemimpin who lived according to the Quran, …who could stand in for the Prophet, …who knew the Prophet’s deeds so well that he would order affairs as the Prophet himself might have ordered them.” (lihat Among the Believers: An Islamic Journey, New York-Knopf, 1981).
Oleh :AMICH ALHUMAMI
Peneliti Sosial Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom.
Dimuat di harian Republika, 5 Agustus 2008
Artikel ini didapat dari

selanjutnya ada artikel menarik yang ditulis oleh Hidayat, M.T., Wendi Zarman, M.Si., Peneliti PIMPIN (InstitutPemikiran Islam dan Pembangunan Insan, Bandung). Tulisan ini didapat dari https://insists.id/dr-ir-imaduddin-abdulrahim/ . bisa memberikan informasi tambahan tentang Bang Imad
Bang Imad, begitu dia biasa disapa. Namanya sangat tidak asing lagi bagi para intelektual Muslim di Indonesia. Kiprahnya dalam dunia dakwah di kampus sangat fenomenal. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Banyak mahasiswa dan sarjana berubah pikiran setelah mendengar ceramah Bang Imad atau membaca tulisannya.
Bang Imad! Nama lengkapnya adalah Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Ia lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, pada 21 April 1931/ 3 Zulhijjah 1349H. Ayahnya, Haji Abdulrahim, adalah seorang ulama yang juga tokohMasyumi di Sumatera Utara. Sedangkan ibunya, Syaifiatul Akmal, seorangwanita yang merupakan cucu dari sekretaris Sultan Langkat.
Bang Imad dibesarkan dalam tradisi pendidikan Islam yang kuat. Sejak kecil ayahnya sendiri yang langsung mengajarnya al-Qur’an,  berupa tajwid dan tafsir setiap usai shalat subuh.Dalam mengkaji al-Qur’an, ayahnya sering menyelipkan berbagai cerita tentang tokoh-tokoh besar Islam. Cara itu sangat membekas dalam diri Bang Imad, sehingga membentuk semangat perjuangan Islam. Ayahnya juga menyediakan banyak buku dan majalah keislaman di rumah sebagai sumber bacaan baginya. Sementara ibunya berulang-ulang mengingatkan, “Imaduddin”  itu berarti ‘penegak tiang agama’. Ia mengingatkan,  agar anaknya selalu menegakkan shalat.
Didikan kuat sejak kecil, berbekas dalam diri Imaduddin, sehingga tidaklah mengherankan, sedari muda Imaduddin telah memiliki ghirah keislaman yang menyala-nyala. Semangat ini kemudian membawanya berkecimpung dalam berbagai kegiatan dakwah dan perjuangan Islam.
Meskipun aktif dalam kegiatan Islam sejak muda, Imaduddin tidak meneruskan pendidikannya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Ia justru memilih kuliahTeknik Elektro di ITB. Pilihan ini didukung oleh ketekunan dan kecerdasannya semasa di bangku sekolah.Sejak HIS hingga SMA ia selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya. Demikianlah yang diajarkan ayahnya untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqulkhairat).
Meskipun belajar di perguruan tinggi secular, semangat perjuangan Islam Bang Imad bukannya luntur, tapi malah semakin membara. Begitu diterima sebagai mahasiswa, ia langsung bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bandung dan menggalakkan kegiatan mengkaji al-Qur’an dan tafsirnya di kalangan para aktivis.
Tahun 1963 Bang Imad berangkat keluar negeri melanjutkan S2-nya di Iowa State University, Ames, Iowa, AmerikaSerikat. Tahun 1965 iamenyelesaikan S2-nya dan langsung melanjutkan S3-nya di Chicago. Baru dua bulan di Chicago Bang Imad mendapat kabar tentang terjadinya pemberontakan PKI. Beberapa diindikasikan terlibat sehingga terjadi penangkapan terhadap sejumlah dosen ITB. Akibatnya, terjadi kekosongan pengajar di berbagai jurusan. Bang Imad kemudian diminta pulang untuk membantu mengatasi kelangkaan pengajar tersebut. Sebagai aktivis, Bang Imad memberanikan diri menjadi dosen Agama Islam, disamping juga mengajar pada mata kuliah lain di DepartemenTeknik Elektro.
Konsistensinya dengan ajaran Tauhid membuatnya tidak segan-segan mengritik hal-hal yang dirasanya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Termasuk pihak penguasa, tak luput dari kritik kerasnya. Tidak mengherankan banyak orang menganggap dirinya sebagai tokoh garis keras. Buku Tauhid yang dikarang oleh Bang Imad, telah menginspirasi ribuan generasi muda Muslim di Indonesia.
Tanggal 23 Mei 1978, seusai memberikan ceramah di Masjid Salman ITB, sekelompok orang berpakaian preman datang kerumahnya. Ia lalu dijebloskan ke penjara di samping Taman Mini Indonesia Indah, selama empat bulan. Akhirnya,  Prof. Dr. Dodi Tisna Amidjaya dating, meminta kepada Pengkopkamtib Sudomo,  waktu itu, agar membebaskan Bang Imad.
Kiprah Bang Imad dalam dakwah sampai menembus dunia internasional. Ia aktif di lembaga-lembaga International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) danWorld Assembly Moslem Youth (WAMY).
Tahun 1970, setelah  hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali normal, Bang Imad menjadi dosen tamu di Universitas Teknologi Malaysia.  Di sini, ia terus menggalakkan dakwah. Saat merancang kurikulum, ia sengaja memasukkan pelajaran agama sebagai mata kuliah wajib agar mahasiswa yang dibentuk di sana bukan hanya menguasai sains modern tetapi juga memahami agama dengan baik.
Mulanya hal ini ditentang oleh rektor  karena tidak masuk dalam program pemerintah. Namun Bang Imad bersikeras dan mengancam pulang ke Indonesia jika usulannya ditolak. Dalam kuliah pertama yang juga dihadiri rektor, dosen, dan mahasiswa,  Bang Imad meyakinkan bahwa agama Islam tidak bertentangan dengan sains dan teknologi. Ceramah ini ditanggapi positif dan menginspirasi banyak orang Malaysia.
Kuliah-kuliah yang disampaikan Bang Imad ternyata member kesan yang dalam bagi mahasiswa dan dosen, sehingga beberapa di antaranya meminta Bang Imad membuat pelatihan sejenis Latihan Mujahid Dakwah (LMD) sebagaimana yang pernah dilakukannya di ITB. Jika di Indonesia,  pelatihan ini diberi nama LMD, di Malaysia pelatihan ini digelari LatihanTauhid. Peserta pelatihan ini diwajibkan membawa al-Qur’an ke kampus. Pelatihan ini membawa perubahan besar di kalangan mahasiswa Malaysia. Sebagaicontoh, mahasiswa yang sebelumnya merasa malu membawa al-Qur’an dan membungkusnya kedalam majalah, setelah pelatihan ini menjadi bangga membawa al-Qur’an ke kampus.
Meskipun sempat tertunda, Bang Imad akhirnya meraih Doktor Filsafat Teknik Industri dan Engineering Valuation dari Iowa State University. Jasanya dalam dunia dakwah sangatlah besar. Pada 2 Agustus 2008, Bang Imad dipanggil Allah SWT. Bang Imad telah berjasa besar dalam upaya mendekatkan antara sains dengan Islam, antara pribadi saintis Muslim dengan Islam itu sendiri.  Bang Imad telah melakukan rintisan besar dalam dunia dakwah di kampus.

Generasi berikutnya berkewajiban melanjutkan perjuangannya. 

3 komentar:

  1. Assalamualaikum....
    Ada yang tahu siapa yang mengobati Almarhum pada saat beliau sakit. Pafa awal nya beliau menolak karena almarhum mengira yang mengobatinya adalah dukun. Trins Infonya..zajakumullahu choiron.

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, aku ditakdirkan menerima latihan langsung oleh diri arwah Bang Imad semasa saya menuntut di Universitas di Perth, Australi pada tahun 1976.

    BalasHapus
  3. Kamu Syiah ya?
    Bicara yang benar, ajaran syiah itu nggak masuk akal.
    Ada menyiksa diri segala ajaran syiah itu. Sesat tu ajaran syiah.
    Bagaimana sahabat Abubakar Ash-Shiddiq disuruh oleh Rasulullah menjadi imam shalat (waktu Rasulullah sakit), kalau sahabat tidak betul mana mungkin di suruh oleh Rasulullah.

    BalasHapus

Designed By