Breaking News

Minggu, 17 April 2016

Birokrasi Patrimonial di Indonesia


image  source : republika.co.id

BIROKRASI PATRIMONIAL DI INDONESIA : STUDI KASUS DI KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN
     
Pendahuluan
Dalam sebuah negara dibutuhkan adanya sistem yang dapat menjadi penggerak bagi pemerintah untuk dapat menjalankan tugas-tugas kepemerintahan demi terwujudnya negara yang sejahtera, dan mampu memberikan jaminan kepada masyarakat akan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan sebagai warga negara. birokrasi menjadi jawaban atas persoalan bagaimana negara dapat memberikan pelayanan kepada warga negara untuk dapat mencapai kesejahteraan. Birokrasi menjadi bagian penting dalam setiap jalannya roda pemerintahan dalam sebuah negara. kegiatan-kegiatan dalam birokrasi membuat negara memiliki keteraturan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki beragam budaya masyarakat, membuatnya memiliki banyak dinamika dalam birokrasi pemerintahan. Birokrasi yang ada di Indonesia juga memuat aspek bagaimana individu ataupun kelompok dapat masuk dalam sistem tersebut. sehingga dengan masuknya seseorang dalam sistem birokrasi membuatnya mendapatkan kekuasaan dan berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya.
Status sebagai bangsawan memberikan peluang besar kepada seseorang untuk mendapatkan kekuasaan didalam birokrasi. Dengan status itu juga membuatnya dapat melanggengkan kekuasaan dengan mendapatkan kepatuhan orang-orang yang ada disekitarnya untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan yang dimiliki. Inilah yang kemudian menjadikan budaya patrimonial dalam birokrasi dapat tumbuh dan berkembang.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan bagaimana birokrasi patrimonial dijalankan di daerah Wajo yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Walaupun pemaparan ini tidak dapat meng-generalisir bahwa birokrasi di semua daerah di Indonesia adalah birokrasi patrimonial, namun ini menggambarkan bahwa di Indonesia masih terdapat sistem birokrasi patrimonial yang bertahan hingga saat ini.

Birokrasi & Birokrasi Patrimonial
Menurut Weber, tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional.[1]  birokrasi dalam perspektif Weber banyak diartikan sebagai fungsi sebuah biro.suatu biro merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Birokrasi merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. untuk itu model birokrasi Weber ini dipahami sebagai sebuah mesin yang disiapkan untuk menjalankan dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. setiap pejabat pemerintah mempunyai tugas dan tanggungjawabnya masing-masing dan harus menjalankannya sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Karl Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi filosofi Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara ( birokrasi ) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya.  Konsep Marx tentang birokrasi menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi memihak pada kekuatan politik yang memerintah. Sedangkan Hegel sebaliknya berada di tengah-tengah sebagai mediator yang menghubungkan antara negara dengan masyarakat.[2]
Patrimonalisme sendiri merujuk pada sentralisasi  kekuasaan yang berpusat  pada penguasa perseorangan tertentu  yang mengakumulasikan kekuasaan,  sedangkan yang lain mengidentifikasikan kepentingannya. Penguasa membagikan sumber daya kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh besar di masyarakat  untuk menjaga keberlangsungan dan stabilitas kekuasaannya. Sementara, bagi pihak yang berkepentingan tersebut memiliki Aksesibilitas dalam mencari pelindungan politis maupun ekonomi dalam struktur kekuasaan tersebut. Hubungan tersebut berlangsung dalam pertukaran keuntungan yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak.
Penguasa membagikan sumber daya kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh besar di  masyarakat  untuk menjaga keberlangsungan dan stabilitas kekuasaannya.[3] Sementara, bagi pihak yang berkepentingan tersebut memiliki aksesibilitas  dalam mencari pelindungan politis maupun ekonomi dalam struktur kekuasaan tersebut. Hubungan tersebut berlangsung dalam pertukaran keuntungan yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak.
James C. Scott menilai kekuasaan patrimonial yang berlangsung di Indonesia memiliki akar antropologis yang kuat diwujudkan dalam 'patron-client' atau 'solidaritas vertikal' dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya adalah adanya hubungan antara client-hamba dengan patron-tuan yang diibaratkan sebagai suatu hubungan pertukaran yang vertikal, dimana perubahan perubahan selalu berada di bawah legitimasi kaum elit.[4] Terbentuknya relasi tersebut lebih didasarkan pada ketidaksamaan dan fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. Oleh karena itulah, pola internalisasi nilai dan norma penguasa diterima meluas sehingga timbullah kekuasaan yang hegemonik.
Beberapa karakter dari birokrasi patrimonial itu sendiri sebagai berikut:
·         Adanya hubungan timbal balik antara client-hamba dengan patron-tuan. Hubungan ini bersifat saling menguntungkan satu sama lainnya. sehingga terjalin sebuah harmonisasi yang dapat bertahan dalam waktu yang panjang.
·         Birokrasi patrimonial adalah bagian dari birokrasi tradisional. Ini dapat dilihat dari bagaimana sistem birokrasi masyarakat tradisional yang sangat patuh terhadap para birokrat. Kepatuhan ini terjadi karena adanya sistem feodalisme dalam masyarakat. Sehingga masyarakat memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan.
·         Mematuhi pemimipin, ini menjadi sebuah keniscayaan dalam birokrasi patrimonial. Kharismatik seorang pemimpin dapat membuat jajaran yang ada dibawahnya memiliki kepatuhan terhadap dirinya.
·         Adanya kecenderungan untuk mempertukarkan sumberdaya. Ini terjadi karena adanya hubungan yang terjadi antara client dengan patron nya seperti dijelaskan diatas. Sumberdaya yang dipertukarkan dapat berupa sumberdaya ekonomi dan sumberdaya politik yang bentuknya beragam.

Melihat birokrasi patrimonial di Indonesia, dapat dilihat sejak berdirinya kerajaan-kerajaan di nusantara. Budaya patrimonial yang dibawa oleh kerajaan-kerajaan di nusantara ini pada akhirnya mempengaruhi birokrasi di Indonesia. Adanya kepatuhan dan ketundukan para jajaran birokrat kerajaan terhadap atasan-atasannya, juga didukung dengan adanya perlindungan atasan terhadap bawahannya dalam birokrasi membuat perilaku tersebut membudaya dalam birokrasi Indonesia di masa sekarang ini.
Birokrasi patrimonial di Indonesia bisa dilihat dari bagaimana para elit-elit lokal menguasai birokrasi dan berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya. Sumberdaya yang dimiliki dan cara-cara dalam mengelola sumberdaya tersebut membuatnya dapat bertahan atas kekuasaannya dalam birokrasi. Salah satu sumberdaya yang dapat dimanfaatkan adalah status sebagai bangsawan yang membuatnya memiliki kharisma sebagai seseorang yang dianggap harus dihormati.
Status sebagai bangsawan membuat seseorang dapat bergerak lebih leluasa untuk mempengaruhi birokrasi dan berusaha mengangkat saudara-saudaranya yang juga berstatus sebagai bangsawan kedalam jabatan birokrasi. Pengangkatan saudara kedalam tubuh birokrasi ini juga nantinya akan membuatnya memiliki dukungan untuk mempertahankan kekuasaannya dalam birokrasi. Penempatan pada posisi-posisi strategis juga akan membuat pola birokrasi patrimonial ini akan semakin tertanam. Status sebagai bangsawan dan status sebagai pejabat penting dalam birokrasi membuatnya dapat dengan mudah mendapatkan kepatuhan atas jajaran-jajaran dibawahnya. Tentunya ada hubungan tersebut bersifat timbal balik dengan mempertukarkan sumberdaya sehingga kedua pihak sama-sama diuntungkan.


Birokrasi Patrimonial di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan[5]

Birokrasi di Kabupaten wajo menunjukkan bahwa pamong praja (aparat pemerintahan) telah mejadi penunjang kaum bangsawan setempat untuk tetap bertahan dalam birokrasi pemerintahan yang berkembang secara turun temurun sejak masa kolonial hingga era Reformasi.
Pada akhir tahun 1980-an, seorang politisi senior Wajo yang memiliki latar belakang militer berusaha untuk mempertahankan eksistensi kaum bangsawan dalam birokrasi pemerintahan. Tentu ini juga untuk menunjang karirnya hingga nanti pada akhirnya menduduki posisi sebagai bupati kabupaten Wajo. Puang, inilah istilah yang digunakan untuk menyebut orang Bugis yang masih berdarah bangsawan. Puang dilahirkan di Sengkang pada tahun 1942 dari keluarga bangsawan. Setelah lulus SMA pada tahun 1965 dia masuk ke angkatan darat dan mulai merintis karier pemerintahan di Wajo, Sulawesi Selatan. Pada tahun 1995 dia memperoleh kenaikan pangkat menjadi kolonel. Meskupin begitu, Puang juga sudah memulai karier politiknya pada tahun 1987 dengan masuk Golkar sebagai anggota Dewan Penasehat Golkar. Pada tahun yang sama dia diangkat menjadi anggota DPRD Wajo. Tahun 1993 dia diangkat sebagai pemimpin cabang daerah Golkar dan ketua DPRD Wajo, jabatan ini diembannya hingga tahun 2004 ketika akhirnya diangkat sebagai kepala daerah.  
Meskipun Puang memperoleh jabatan-jabatan tersebut berkat masuk militer dan melalui Golkar, dia juga menggunakan dan menggalang jaringan dari para jaringan keluarga yang berstatus bangsawan. Dengan posisi kuat yang dimiliki, ia menunjuk kerabat untuk menduduki jabatan-jabatan birokrasi yang strategis dan menguntungkan. Dengan jalur Jati (jalur atau arah jalan yang mengacu ke jalan Jati, jalan tempat rumah dinas ketua DPRD berada) anggota-anggota keluarga dan kerabat-kerabatnya dengan mudah mendapatkan jabatan dan kenaikan pangkat, yang pada akhirnya muncul sebagai birokrat-birokrat yang berkuasa.

Pada tahun 1998, saat Puang menjadi ketua DPRD, dia mengadu nasib untuk meraih jabatan bupati namun dalam pemilihan dikalahkan oleh seorang anggota Golkar yang bukan dari golongan bangsawan dan didukung secara finansial oleh pemerintah pusat. Bupati yang baru terpilih ini tidak dapat berperan besar bagi kabupaten Wajo, karena dia akhirnya berada dibawah bayangan sang Puang. Meskipun kalah dalam pemilihan, namun pada rentang tahun 1998-2004 Puang berusaha memperkuat posisinya karena birokrat pendukungnya yang masih kerabat semakin banyak dan menempati posisi yang strategis. Beberapa jabatan kepala bagian yang dianggap strategis di dinas-dinas pemerintahan, camat, dan lurah diangkat dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki oleh Puang dan tentunya melalui jalur Jati.
Karena kekuasaannya semakin besar, banyak pemuka-pemuka di Wajo menyatakan bahwa mereka masih memiliki ikatan keluarga dengan Puang. Posisi-posisi penting dibagi-bagikan kepada para kerabat bangsawanannya dan mereka yang dekat dan loyal kepadanya. Tentu ini juga menggunakan jaulr-jalur yang tidak resmi, namun dengan kekuasaan yang dimilikinya membuat itu menjadi hal yang mudah baginya.
Kekuasaan Puang diperkuat melalui anggota kerabat dan kroni dalam pemerintahan, dari tingkat kabupaten sampai ke tingkat desa, maupun di parlemen. sehingga mencapai titik hegemoni. Dengan kekuatan besar yang dimilikinya akhirnya Puang menduduki posisi tertinggi sebagai Kepala daerah setelah pada tahun 2004 dipilih oleh anggota-anggota parlemen tepatnya empat bulan sebelum pemilu april 2004. Inilah akumulasi dari berbagai pengutan posisi Puang yang dibangunnya dalam tubuh birokrasi pada akhirnya mengantarkannya untuk duduk sebagai kepala daerah kabupaten wajo.
Melihat usaha yang dilakukan oleh Puang dalam memulai kariernya di pemerintahan dan politik sejak bergabung sebagai anggota militer sampai dengan akhirnya duduk sebagai kepala daerah di kabupaten Wajo, memang menjadi gambaran bagaimana birokrasi patrimonial bekerja dalam pemerintah. Kemudian status yang dimiliki oleh Puang sebagai seorang bangsawan membuatnya semakin mendapatkan kemudahan dalam mengatur berbagai hal yang dapat memperkuat posisinya.
Dengan penempatan posisi-posisi kerabat yang sangat strategis dalam birokrasi pemerintahan membuat kepatuhan orang-orang tersebut semakin besar terhadap Puang. Dan pada akhirnya menjadi basis dukungan bagi Puang dalam perjalanannya menuju kursi kepala daerah.
Birokrasi yang telah dikuasai oleh Puang, membuat orang-orang didalamnya patuh terhadap Puang, ini terjadi karena adanya hubungan yang saling menguntungkan antara kerabat keluarganya dan orang-orang yang dekat dengannya dengan sang Puang. Puang mampu memberikan jabatan-jabatan strategis kepada kerabat dan orang-orang terdekatnya, dengan jabatan tersebut mampu memberikan peluang-peluang lahan ‘basah’. Disisi lain, kerabat dan orang-orang yang telah duduk di jabatan birokrasi memberikan dukungannya terhadap penguatan posisi Puang sebagai orang yang berpengaruh bagi kabupaten Wajo, sehingga pada akhirnya menjadi kepala daerah kabupaten Wajo.

Penutup

Jaringan keluarga bangsawan dalam birokrasi dapat membentuk sebuah sistem birokrasi patrimonial. Relasi yang terjalin dengan sinergisitas antara client dengan patronnya dalam birokrasi semata-mata untuk memperkuat kekuasaan patrimonialisme yang coba dibangun oleh Puang sebagai seorang yang berasal dari keluarga bangsawan. Sehingga jaringan kekeluargaan dapat menjadi penopang baginya untuk tetap menjaga eksistensi dalam birokrasi maupun perpolitikan di kabupaten Wajo.
Birokrasi yang banyak dipengaruhi oleh Puang pada akhirnya semakin memberikan dukungan terhadap tujuannya untuk menduduki kursi kepala daerah. Pertukaran sumberdaya yang dilakukan oleh Puang dengan keluarga dan kerabat rupanya memberikan pengaruh terhadap penguatan dukungan kepadanya. Puang memberikan posisi-posisi strategis dalam birokrasi kepada keluarga dan kerabat, sedangkan dia mendapatkan penguatan pengaruh dan dukungan untuk mencapai jabatan kepala daerah.
Dari penjelasan singkat mengenai kondisi birokrasi di kabupaten Wajo ini menunjukkan bahwa birokrasi di Indonesia masih ditemui sebuah sistem birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial ini berkembang dengan adanya kharisma seseorang yang berstatus sebagai bangsawan dan mampu menggerakkan sumberdaya untuk dapat meraih kekuasaan. Namun demikian, tidak semua birokrasi di daerah-daerah di Indonesia bernafaskan patrimonialisme yang ditopang oleh orang-orang berstatus sebagai keluarga bangsawan. Karena disetiap daerah tentu memiliki dinamikanya masing-masing sesuai dengan kondisi daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
  • Jati, Wasisto Raharjo, 2012,  Jurnal Volume 8 No.2 : Kultur Birokrasi Patrimonialisme dalam Pemerintah Proinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Jurnal Borneo Administrator.
  • Nordholt, Henk Schulte, dan Gerry van Klinken, 2007, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia. ( Sub Bab tentang: Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan. Oleh Andi Faisal Bakti).
  • Thoha, Miftah, 2003, Birokrasi & Politik di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.





[1]. Miftah Thoha, Birokrasi & Politik di Indonesia, 2003, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.16.

[2] . Miftah Thoha, ibid, hal.22.
[3] . Wasisto Raharjo Jati, Jurnal Volume 8 No.2 : Kultur Birokrasi Patrimonialisme dalam Pemerintah Proinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012,Jurnal Borneo Administrator, Yogyakarta, hal.141.

[4] . Wasisto Raharjo Jati, ibid, hal.142
[5]. Sub bab Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selatan (oleh Andi Faisal Bakti). Dalam buku Politik Lokal di Indonesia oleh Henk Schulte Nordholt, dan Gerry van Klinken, 2007, JakartaKITLV dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.491-504.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By