Breaking News

Kamis, 15 Desember 2016

Sedikit ber-Sastra


Aku…
Adalah orang yang tak pernah mengenal cinta.
Namun, berkat hadirmu…
Keinginan tuk bangun cinta hadir begitu saja.
Aku,
Adalah orang yang tak mengerti bagaimana caranya tuk dapat kekasih hati,
Namun, semenjak kehadiranmu itu, sudah begitu banyak do’a yang aku titipi pada Ilahi.
Kumohon, jangan kau tersenyum padaku…
Semakin sakit rasanya jika kau seperti itu,
Sebab mengharapkanmu, amatlah mustahil bagiku.
Kau ada di atas langit yang tinggi,
Sementara aku hanya bisa tengadah meratapimu disini.
Tidaklah mudah menjadi aku yang harus menyembunyikan harapan dibalik keadaan.
Tidaklah mudah menjadi diriku yang harus menetralkan semua rasa dengan keikhlasan.
Cintaku padamu bagai pungguk merindukan bulan.


Setia Furqon Kholid
Inspirasi buku “Apa Ada Cinta?”
Read more ...

Rabu, 14 Desember 2016

Enam Alasan Tidak Mendirikan Partai Islam


Salah satu tulisan yang menarik untuk dibaca, saya menemukannya di salah satu buku berjudul "Memilih Partai Mendambakan Presiden". ditengah pergulatan transisi dari orde baru ke era reformasi, muncul perdebatan mengenai penting tidaknya partai islam, bagaimana pelembagaan partai islam yang baik, layak atau tidak umat islam atau ormas-ormas islam di negeri ini mendirikan partai. mengingat saat itu sedang terjadi arus demokratisasi yang membuat semua orang bisa saja berserikat, ataupun mendirikan partai, maka umat islam pun dihadapkan apakah perlu untuk membangun partai-partai yang akan berkontestasi dalam perpolitikan di indonesia. ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. salah satu tokoh intelektual islam yang tidak setuju dengan pendirian partai islam di era-era transisi demokrasi pada kisaran 1998-an adalah beliau Kuntowijoyo. ada bebrapa argumen yang membuatnya tidak setuju untuk umat islam ini mendirikan partai politik. tapi meskipun begitu, realitasnya pada saat itu muncul sedikit banyak partai islam, dan sampai saat ini masih tetap eksis, meskipun juga dengan berbagai problema didalamnya. tapi dari tulisan ini, agaknya harus bisa menjadi sebuah bahan refleksi bagi umat islam dan partai islam.
Berikut tulisan beliau Kuntowijoyo yang mengajukan argumennya tentang tidak perlunya mendirikan partai islam;

..........

Mula-mula Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membentuk sebuah panitia pendiri “Partai NU” (hasilnya ialah Partai Kebangkitan Umat), kemudian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) merekomendasikan berdirinya sebuah parpol Islam (kelanjutan rekomendasi itu ialah berdirinya BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam) yang akan menjadikan Kongres Umat Islam dan yang terakhir Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang 5-7 Juli 1998 berijtihad politik untuk mendirikan parpol islam (pribadi warga Muhammadiyahnya, Kedaulatan Rakyat, 8 Juli 1998). Dan masih banyak lagi.
Rupa-rupanya itu semua sesuai dengan aspirasi massa masing-masing di musim semi kebebasan. Lengkaplah sudah pengotak-ngotakan politik kaum santri yang dibuat oleh tangan umat sendiri dengan sadar: Satu kotak untuk kaum tradisiomalis (NU), satu kotak untuk kaum modernis (DDII) dan satu kotak untuk kaum puritan (Muhammadiyah). Reformasi yang berarti kebebasan demokrasi dan transparansi, menjadi ketertutupan, pribadi, otoritarian dan eksklusivisme.
Tulisan ini sangat prihatin dengan keadaan itu. Dengan berakhirnya Orde Baru dan mulainya Orde Reformasi, umat berada di persimpangan jalan sejarah. Sebagian besar menganggap perubahan itu sebagai rahmat, sebagian lainya menganggapnya sebagai ujian. Anggapan bahwa perubahan adalah rahmat telah menghasilkan nostalgia politik untuk kembali ke masa lalu, sedangkan anggapan perubahan sebagai ujian menimbulkan rintisan ke arah jalan baru.
Sayang, anggapan pertama adalah mayoritas, sedangkan anggapan kedua ini hanya minoritas. Demikianlah, meskipun tulisan ini adalah bagian dari minoritas yang barangkali hanya teriakan lemah di masa banjir bandang kebebasan, tetapi rupanya perlu juga dikemukakan. Untuk membebaskan diri penulis dari tanggung jawab di depan masyarakat ilmiah dan mahkamah sejarah. Di bawah ini adalah enam alas an mengapa pembentukan parpol Islam adalah kesalahan yang fatal.

1. Terhentinya Mobilitas Sosial
Waktu Indonesia merdeka ada harapan bahwa akan terjadi mobilitas vertikal bagi wong cilik, orang kecil akan naik dalam tangga sosial. Tetapi itu tidak terjadi, di banyak daerah, Indonesia tetap berada di tangan elite penguasa seperti sebelumnya. Kekecewaan-kekecewaan itulah yang sebenarnya mendasari beberapa revolusi sosial dekat setelah Proklamasi yang dipeleopori oleh wong cilik (abangan), seperti Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah Utara, Revolusi Sosial di Sumatra Timur dan Perang Cumbok di Aceh. Seperti diketahui inner circledari pada pemuda dalam perjuangan kemerdekaan sekitar Proklamasi pada umumnya adalah kaum abangan. Dikalangan wong cilik, santri sendiri, kekecewaan yang sama muncul di tahun 1950-an dalam pemberontakan DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat, AOI di Kebumen (Jawa Tengah Selatan), Yon 426 di Kudus (Jawa Tengah), Daud Beureuh di Aceh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi.
Pada pasca-1965 yang naik dalam tangga sosial adalah kaum bangsawan lebih dulu, bukan kaum santri. Apa sebab ? Pada tahun 1950-an yang dikenal dengan masa Demokrasi Liberal itu kaum santri sibuk berpolitik dalam berbagai parpol Islam. Pertanyaannya ialah bukankah kaum abagan dan kaum santri sama-sama sibuk berpolitik, kok yang mengalami mobilitas social vertikal pasca-1965 hanya kaum abangan ? Jawabannya ialah karena kaum abangan tidak mempunyai tanggung jawab sosial dalam penyebaran agama, sehingga dana, perhatian dan tenaga dapat dicurahkan untuk pembinaan SDM-nya. Mereka dapat mengantarkan warganya untuk menjadi elite dalam berbagai bidang, seperti birokrasi, profesi, militer, intelektual dan eksekutif.
Pada 1970-1990 kaum santri mengalami marginalisasi. Ternyata, marginalisasi itu suatu blessing in disguise (rahmat tersembunyi) karena dalam keadaan itulah kaum santri dapat membina SDM-nya setelah terbebas dari beban politik. Dominasi dalam lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif sesudah 1992 menimbulkan istilah “ijo royo-royo”. Demikian pula ada dominasi kaum santri dalam dunia profesi, budaya dan akademi pada 1990-an. Mobilitas sosial vertikal itu akan terhenti kalau kaum santri kembali berpolitik. Akibatnya, baru terasa di tahun 2020-an nanti, justru pada waktu itu Indonesia memasuki liberalisasi penuh. Kaum santri akan menjadi “gelandangan di rumah seindiri” kembali (istilah Emha Ainun Nadjib).

2. Disintegrasi Umat
Pada tahun 1970-1990 telah tejadi tiga macam konvergensi. Konvergensi sosial antara wong cilik dan priayi, konvergensi budaya antara abangan dan santri, serta konvergensi aliran agama antara tradisionalis, modernis dan puritan. Konvergensi sosial telah melahirkan kelas baru yaitu kelas menengah.
Para pengamat mengatakan bahwa lahirnya kelas menengah inilah yang mendasari adanya ICMI. Seseorang yang semasa mahasiswa di akhir 1960-an dan di awal 1970-an adalah anggota GMNI (per definisi adalah perkumpulan kaum abangan) pada tahun 1990-an banyak yang Islamnya melebihi anggota HMI dan PMII (yang perdefinisi adalah perkumpulan santri). Proses perbubahan budaya itu pasti terjadi pada tahu-tahun 1970-1990 ketika Islam secara politis tenggelam dan secara budaya mencair. Pada tahun 1970-1990 juga terjadi hubungan yang akrab antara NU dan Muhammadiyah. Dalam kepengurusan ICMI, baik di tingkat pusat maupun orwil, maupun orsat sudah tidak diperhitungkan lagi aliran-aliran agama. Gagasan untuk rekonsiliasi antara NU dan Muhammadiyah pun sudah terpikirkan.
Akan tetapi konvergensi itu akan berakhir kalau parpol-parpol Islam muncul. Aliran-aliran agama yang semula telah cair akan mengkristal lagi; orang NU akan memilih Partai Kebangkitan Umat dan orang Muhammadiyah akan memilih “Partai Muhammadiyah”. Munculnya parpol Islam akan membuat orang yang telah mengalami konvergensi budaya mengalami frustasi.
Kalau dulu orang dapat memilih PPP, Golkar atau PDI tanpa beban moral, nanti lain soalnya. Masing-masing parpol Islam akan harus mencari indentitas politiknya, sehingga perbedaanlah dan bukan persamaan yang menonjol. Identitas yang berbeda akan menguasai, parpol Islam akan menganut ideocracy (dari bahasa Yunani Iidios [ciri khas] dan kratein [menguasai]). Demikianlah akan terjadi disintegrasi umat.

3. Umat Menjadi Miopis
Politik hanya memikirkan masalah-masalah yang berjangka pendek. Kita sungguh takut bahwa dengan berpolitik umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas realitas yang dekat. Orientasi bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal, ternyata hanya benar dalam jangka pendek. Misalnya, “kemenangan” islam untuk menyatukan pesantren dengan sistem pendidikan nasional, dapatnya para santri bersekolah umum ternyata hanya baik di permukaan. Di bawah perbukaan “kemenangan” itu menimbulkan ketergantungan umat pada negara, cita-cita pemuda Islam jadi PNS, hilangnya semangat wiraswasta pada umat.
Bahwa kekuasaan tidak menjamin penyebaran agama, terbukti dalam banyak kasus. Kekuasaan Islam di Spanyol yang tujuh abad (VIII-XV) itu tidak ada bekasnya, kalau tidak ada arsitektur, filsafat, iptek dan kusesastraan. Demikian pula kekuasaan Islam di India yang tujuh abad (XII-XIX). Dengan kekuasaannya, raja-raja Kesultanan Delhi tidak bisa meng-Islam-kan orang-orang India bahkan di dekat pintu gerbang istananya.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa para wali yang berhasil meng-Islam-kan pedalaman Jawa, bukan raja-raja. Pemerintahan Hindia-Belanda sendiri konon menguasai Indonesia selama 350 tahun tidak berhasil meng-Kristen-kan orang-orang Indonesia. Dan berapa persen orang Timor-timor menjadi Islam sejak integrasi ? Integrasi ternyata lebih menguntungkan misi Katholik dari pada Islam, lebih sebagai Katholikisasi bukan Islamisasi. Memang, tujuan politik adalah kekuasan bukan agama, kekuasaan itu netral sampai negatif. Agama harus di lihat dari perspektif jangka panjangnya, paling tidak perspektif jangka menengah, bukan perspektif jangka pendek.
4. Pemiskinan
Agama itu mula-mula seperti sinar tunggal yang memancar, tetapi dalam masyarakat ia mampu mengurai menjadi banyak sinar; dakwah, kehidupan sosial, kebudayaan, sistem pengetahuan, iptek, filsafat, mitos, politik, ke-SDM-an, mentalitas dan sebagainya. Mendirikan parpol Islam akan berarti membunuh potensi-potensi itu untuk berkembang. Umat akan bergerak seperti kuda kereta yang ditutup matanya supaya tidak menoleh kanan-kiri.
Kekayaan agama menjadi miskin kalau putra-putra terbaik umat dijuruskan hanya ke politik. Karena politik itu relatif gampang, rumusnya retorika, demagogi dan mobilisasi massa. Hasilnya pun tampak menonjol di permukaan: Sekian orang dalam lembaga eksekutif. Tidak memerlukan kreativitas pribadi yang luar biasa, tidak perlu pribadi yang suka bekerja dalam sepi. Padalah, dalam keadaan sekarang yang relatif baik saja kita sebenarnya kekurangan orang yang sanggup bekerja sendirian. Misalnya, untuk berbicara di depan forum ilmiah tentang filsafat, kita harus mencari ke STF Driyarkara. Bukan karena kita besar jiwa, tetapi memang karena kekurangan SDM meski ada penjelasannya. Harus diakui bahwa di antara penduduk Indonesia yang lebih dari 202 juta umat itu kekurangan dalam banyak hal. Rasanya, menambah beban sosial umat dengan politik adalah sebuah dosa sejarah. Patut dipertanyakan tanggung jawab sejarah politik umat. 

5. Runtuhnya Proliferasi
Dengan depolitisasi sejak tahun 1970-an telah terjadi proliferasi (penyebaran) kepemimpinan umat. Sebelumnya umat hanya mengenal tokoh politik sebagai tokoh yang sebenarnya. Di kalangan modernis nama Mohammad Natsir dan di kalangan tradisionalis mungkin nama Idham Chalid. Kalau dibuat peta jaringan-sosial, nama-nama itulah yang menjadi pusatnya, the tokoh. Dengan proliferasi ada banyak nama yang menjadi pusat dalam jarring-jaring sosial, sehingga tokoh menyebar ke beberapa arah, bukan hanya ke arah tokoh politik (tokoh politik hanya a tokoh).
Proliferasi telah menjadikan pengusaha, birokrat, ilmuan, seniman, ulama dan sebagainya sebagai tokoh umat.Nanti kalau ditengah-tengah umat muncul parpol, pastilah tokoh politik yang ahli dalam mobilisasi massa kembali jadi satu-satunya tokoh umat. Dengan adanya parpol akan hilang gambaran bahwa tokoh umat itu bisa jadi para usahawan, seniman atau intelektual. Proliferasi yang selama ini telah terbentuk akan buyar. Penghargaan tertinggi umat nanti ialah pada tokoh politik, melupakan kemungkinan bahwa tokoh itu bisa datang dari berbagia bidang.

6. Alienasi Generasi Muda
Pembentukan parpol akan berarti mengingkari bahwa telah terjadi perubahan sosial di kalangan umat. Umat yang mempunyai aspirasi mendirikan parpol Islam, baik yang disampaikan kepada NU, DDII, maupun Muhammadiyah mestilah mereka yang berumur rata-rata 50 tahun, yang mengalami sengitnya persaingan antar-aliran agama. Tetapi orang lupa bahwa ada banyak hal sudah berubah selama ini, yaitu lahirnya generasi baru yang non-sektarian.
Generasi non-sektarian itu disebabkan oleh adanya mobilitas geografis dan generasi mengambang. Mobilitas geografis menyebabkan orang tercabut dari akarnya, sehingga kehilangan reference group (kelompok rujukannya). Misalnya, mereka yang terpaksa berpindah-pindah karena pendidikan, pekerjaan dan kedinasan. Tidak bisa diharapkan tidak luntur ke-NU-annya atau ke-Muhammadiyahan-nya mereka yang sudah berpindah-pindah tempat, dan menyaksikan keanekaragaman dalam beragama. Generasi mengambang terjadi ketika orang tidak menghayati lagi aliran-aliran keagamaan, sehingga aliran apa saja boleh asal Islam. Mereka yang tumbuh dari PII, HMI, sekolah-sekolah umum, dan jamaah-jamaah kampus adalah generasi mengambang. Generasi muda non-sekatarian ini pasti di luar pertimbangan mereka yang mendirikan parpol-parpol Islam.
Kesimpulan
Umat perlu diberi penjelasan yang jernih untuk mencegah supaya musim semi kebebasan betul-betul membawa rahmat, kemajuan dan masa depan yang lebih baik. Kekuasaan itu syahwat. Kata Sayidina ‘Ali, syahwat itu itu seperti ular, halus dijamahnya tetapi berbisa.  Fa aina tadzhabuun ? Umat masih punya harapan, meskipun para politisinya sendiri jelas akan melukai. Harapan itu adalah intelektual, budayawan, professional, mahasiswa dan para aktivis LSM.


Read more ...

Senin, 12 Desember 2016

Sebuah Cerita saat Kuliah


Ilmu membentuk kita. kadang orang suka bilang bahwa dunia akademik itu dunia yang sangat sepi sebenarnya, karena anda berkumul dengan hasil refleksi anda sendiri. tapi ketika anda merasa mentok, janganlah berputus asa. Karena sebenarnya semuanya sudah disajikan, semua teori yang ada sebenarnya sudah memberikan perkakas kepada anda untuk bisa selalu lebih optimis. Tapi dalam optimis itu anda harus tahu bahwa kita juga akan selalu bisa gagal.

Cerita si siplus (siprus?), cerita yunani kuno. Ada manusia dia dikutuk oleh dewa, dia harus mendorong batu keatas bukit, tapi setiap kali dia mau sampai keatas bukit, dia akan jatuh kebawah lagi, dan dia akan terus mendorong batu itu sampai akhir zaman. Dan itulah kutukan manusia, kira2. Gambaran itu mau mendeskripsikan, bahwa kita manusia selalu merasa bahwa kita mampu tapi sebenarnya, di titik2 ktika kita mau sampai di tujuan kita pasti akan gagal terus. Cerita itu bisa dibaca dengan 2 cara. cara pertama, itu kasihan banget. Tapi cara yang kedua, dan ini yang saya suka, adalah bahwa justru itu yang membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya. Bahwa kita setiap hari berjuang, kita setiap hari berusaha. Bahwa tujuan akhir itu ya hanya satu, yaitu kematian itu sendiri. jadi jangankan anda, sampai saat ini saya juga merasakan pergumulan yang sama. banyak sekali hal2 yang ingin saya pahami, tapi saya tidak bisa memahaminya. Mungkin karena ilmu saya yang masih terbatas atau saya juga masih keliru dalam membaca teori dan lain sebagainya. tapi the point is, intinya adalah kita harus terus menerus mendorong batu itu. karena apabila sekali kita sampai tujuan, akhirnya bingung mau ngapain lagi. jadi justru yang membuat kita menjadi manusia adalah karena ketidaksempurnaan kita, dan kita selalu punya kekosongan itu. kalo dalam psikoanalisa itu namanya lack, ada sesuatu yang lack didalam dirikita. Kita tidak minta dilahirkan didunia ini, tapi kemudian tiba2 kita ada, dan kemudian kita harus berusaha mengisi hidup itu. kemudian anda mengikuti kegiatan macem2, sekolah, karier, anda berusaha melakukan berbagai jenis kegiatan bahkan sampai anda berkeluarga, punya anak, dan sebagainya. itu semua dalam rangka mengisi apa sih tujuan hidup kita didunia ini. Makanya agama itu luarbiasa sekali sebenarnya, karena dia memberikan panduan itu.

Sebenarnya ketika kita membicarakan strukturalis ini kita banyak ngomongin tentang bahasa dan kekuasaan, sampai ketitik kita sebenarnya, kita akan berkesimpulan bahwa manusia itu tidak punya esensi, kita itu sebenarnya kosong. Kita berpikir kita ada, tapi kita berpikir kita ada itu karena bahasa. Kalau tidak ada bahasa bagaimana, kamu bisa menjelaskan siapa sebenarnya dirimu? Jadi kamu punya esensi atau bahasa dulu. Manusia dulu atau bahasa dulu? Bahkan nanti sampai yang namanya keinginan, cita2, identitas, itu sebenarnya semua konstruksi bahasa, kita berusaha menyerap dan menjadikan


Anda laki2? Bagaimana anda bisa mengatakan anda laki2? Biologis tentunya. terus Kenapa nada harus pakai kemeja dan celana panjang? Karena konstruksi, dan konstruksi itupun, itu tidak bisa membuat kita merasa sepenuhnya jadi laki2 . sebenarnya kal o saya nyaman dengan kelaki2an saya, saya bisa kekampus pakai rok dong. Tapi saya masih merasa ngga yakin, makanya saya pakai celana panjang dan kemeja, tapi saya masih ngga merasa ngga yakin juga, kemudian saya menggaharkan suara saya, kemudian mengembangkan sifat2 maskulinitas, saya suka olahraga. Tapi masih ngga cukup juga, saya masih belum merasa jadi laki2. Kemudian kalo malam minggu saya sering keluar dan cari orang untuk berantem dan sebagainya, masih ngga cukup juga, cari pacar. Pacarnya ngga harus selalu dengan perempuan kan? Yang penting saya menjadi maskulin aja. Lawannya mau seperti apa, kalau….sebenarnya post strkturalis menunjukkan bahwa manusia ini tidak punya esensi, tpi justru karena tidak punya esensi, kita kemudian mencari supaya kita punya esensi, dan kemudian kita terus menghidupi itu. kenapa sebenarnya beli parfum harus merek axe? Kenapa harus beli sepatu yang bukan haihil? Kemudian kita akan melihat ternyata dunia ini sudah dibentuk oleh rezim. Apa implikasinya kemudian ketika kita ketemu dengan manusia yang tidak tunduk terhadap standar laki2 dan perempuan, kita selalu mempertanyakannya kan? Kok bisa seperti ini, atau kita jadi merasa ada sesuatu yang asing. Nah ini akan banyak mengganggu fantasi sebenarnya post strukturalis ini. 

Read more ...

Minggu, 11 Desember 2016

Nasionalisme Saya Terusik


Saya adalah seorang yang sangat nasionalis. Saya sangat mencintai negeri ini. saya adalah seorang radikal, saya mencintai negeri ini secara radikal. Kalau dibelah dada saya mungkin bisa ditemukan tulisan NKRI – setelah Allah dan Rasul,Ayah  dan Bunda, dan tentunya Ukhti Sholihah. Ehalah…. Kurang cinta apa lagi coba saya terhadap negeri ini ?

Saya sangat hapal lagu kebangsaan Indonesia Raya. jiwa dan raga ini selalu bergetar jika lagu kebangsaan tersebut dinyanyikan pada upacara, dan acara-acara resmi yang mengawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan. Baru setelah itu ada hymne Gadjah Mada yang selalu membuat jiwa ini bangga dan bergelora, tapi ini penilaian subjektif dari saya. Tapi saya pastikan bahwa setiap anak manusia di negeri ini pasti bergetar jiwanya jika menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Saya akhir-akhir ini agak sedikit religius – bukannya mau riya ya, jadi saya usahakan sholat subuh tepat pada waktunya. Dulu sih sholat subuh ya kalau sudah ada sinar matahari yang menyelinap masuk ke kamar kos lewat kaca jendela dan menyilaukan mata yang masih berat untuk terbuka. selain fadhilah sholat subuh yang sangat besar jika dikerjakan tepat waktu dan berjamaah, manfaat lain saya juga bisa ikut menyanyikan atau paling tidak mendengarkan lagu kebanggaan saya dikumandangkan di seluruh stasiun televisi nasional di negeri ini di pagi hari setelah waktu subuh. Ya, lagu itu adalah Indonesia Raya.  

Tapi beberapa kurun waktu belakangan, ada yang mengusik rasa nasionalisme saya. Saya khawatir lagu Indonesia Raya kebanggaan seluruh rakyat Indonesia ini mulai ada pesaingnya yang mengisi kognisi rakyat Indonesia. Ada satu lagu yang saat ini mulai sedikit banyak dihapal orang. Terutama generasi muda, lebih-lebih para adik-adik yang lucu, yang masih berada di bangku sekolah. Lagu apa itu? dialah Mars Perindo. Sebuah lagu yang saya kira cukup easy listening. Lagu ini adalah semacam kampanye dari partai Perindo. Bukan dalam rangka pemilu, tapi ini adalah kampanye jangka panjang, yang bertujuan mengenalkan dan membangun image partai. Saya takut kalau-kalau nanti lagu ini lebih dihapal, lebih merasuk ke jiwa, lebih mendarah daging, dan akhirnya menyaingi atau bahkan menggeser kemapanan lagu Indonesia Raya.

Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab. Ada beberapa hal yang membuat kekhawatiran ini menjadi muncul dan membuat resah rasa nasionalisme saya. Pertama, lagu ini setiap hari dikumandangkan di stasiun televisi milik MNC group, kita tahu ini adalah media milik Hary Tanusudibyo, sang pendiri partai, sekaligus pemeran utama dalam tayangan Mars pelindo. Kedua, lagu ini ditayangkan pada jam-jam dimana orang pasti menyaksikan televisi, yakni setelah subuh, siang hari ketika beristirahat sejenak dari aktivitas pekerjaan, dan sore atau malam hari ketika orang telah lelah beraktivitas. Itulah waktu yang saya kira sangat krusial. Dan saya sudah menyaksikan diketiga waktu itu. coba bandingkan dengan intensitas kita mendengarkan dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. mungkin hanya sekali seminggu ketika upacara bendera. Itupun bagi anak-anak sekolah dan mereka yang mengabdi di dunia pendidikan. Pun dengan para aparatur negara. lalu para profesional dan lain-lainnya bagaimana?

Ketiga, lagu ini mudah sekali untuk dihapal. Sangat easy listening. Jika dibanding mars atau hymne dari partai lain yang komposisi musik dan liriknya tidak semudah Mars Pelindo untuk dihapal. Bahkan beberapa partai politik saya belum pernah mendengarkan lagu kebesaran mereka. Keempat, saya tidak tahu kapan iklan ini akan diberhentikan. HT sang pemilik MNC grup tentu tak perlu pusing memikirkan biaya penayangan iklan politik, pun dengan batasan waktu pemasangan iklan. Kecuali rezim yang sensitif atas hal tersebut,  dan mulai menggoyahkan penayangan iklan politik Mars Perindo.  

Diakui beberapa kali saya juga bersemangat untuk mendengarkan lagu ini. saya palingkan tubuh saya dari aktivitas lain untuk menghadap layar televisi dan mengikuti lagu tersebut dengan semangat. Tapi saya menganggap ini hanya sebagai hiburan saja. Kadang  saya lelah, dan kemudian ada senda gurau politisi yang bisa sedikit mengurangi rasa lelah dan stres, ya saya ikuti saja lah. Sambil tertawa dalam hati dan membatin “ehalah manusia, memang kau pemain senda gurau yang hebat”. Tapi ini tidak bisa menghilngkan kekhawatiran saya terhadap rakyat di negeri ini, yang bisa saja teracuni oleh iklan politik ini. dan kekhawatiran atas nasib lagu kebangsaan Indonesia Raya yang saya kira mulai terancam kemapanan dan kesakralannya atas kehadiran iklan ini.

Njuk aku kudu piye yo?    
Read more ...

Jumat, 09 Desember 2016

Am I the worst?


Hari itu adalah rabu jam 10 pagi, kami angkatan tua yang masih aktif kuliah dikumpulkan untuk diadakan kelas penulisan akademik yang berdasarkan kurikulum baru kami harus menambahnya 1 sks. Sebagai angkatan yang tinggal menyelesaikan skripsi, untuk menggantikan kewajiban 1 sks itu, kelas akan diisi dengan monitoring skripsi yang digarap mahasiswa.

Ketika di kelompokkan berdasarkan progres pengerjaan skripsi, ada empat golongan sebagai berikut;

Masih mencari topik/tema
Sedang menyusun proposal
Proposal + pencarian data
Penyusunan laporan penelitian

Dari klasifikasi diatas, memang kebanyakan mahasiswa masih berada pada tahap penyusunan proposal. Hampir 70 persen. hanya beberapa yang sudah mulai mencari data, dan hanya 2 orang yang tinggal menyusun laporan penelitian. Dan, aku adalah salah satu dari mereka-mereka yang masih belum juga menemukan tema. Luar biasa sekali saya kira bung…ngapain aja ente satu semester ini? sampai-sampai engkau berada pada kasta terbawah…topik pun belum kau temukan..mahasiswa macam apa kau ini..

Salah satu pembelaan adalah aku masih mengambil mata kuliah, tak tanggun- tanggung, 5 mata kuliah sekaligus. Untuk ukuran mahasiswa akhir di fakulltasku itu banyak sekali, tapi masalahnya adalah semua itu bukan mengulang mata kuliah yang nilai nya hancur, aku malah mengambil mata kuliah baru dan lintas jurusan, yang sebenarnya tidak aku ambil pun its no problem. Kok kepikiran ambil kuliah sebanyak itu koe le..le… mending garap skripsi. Pembelaan lanjutan, aku ketika mengisi KRS belum menemukan tema skripsi, jadi aku ambil saja beberapa kuliah, siapa tahu sambil kuliah bisa nemu ide. But, sampai tulisan ini kubuat, I don’t have idea for my thesis. Ampuni hamba ya Alloh….


Berada di barisan kasta terbawah harusnya membuatku tercambuk. Dan benar saja, sepanjang kuliah aku hanya tersenyum dan tertawa dalam hati menertawai diriku sendiri. bodoh!!!! Dasar pemalas!!!! Begitu saja kau tidak bisa kerjakan. Bangun!!!! Bangun!!!! Tak malukah kau saat ditanya siapa saja yang belum menemukan tema dan kau mengacungkan tangan sebagai tanda bahwa kau adalah salah satunya?  Apa perlu tamparan lebih keras lagi untuk membuatmu segera tersadar? Jawab..hei, jawab..jangan diam saja..

Segeralah bangkit hei...sudah banyak yang menantikan kelulusanmu...bapakmu, ibukmu, mbahmu, pakdemu, bukdemu, adek2mu, sepupu dan keponakanmu....
Read more ...

Rabu, 30 November 2016

Kegaduhan Politik dan Pikiran


Disaat media gencar membicarakan soal aksi massa yang akan dilasanakan pada 2 desember, aku masih saja berkutat pada pikiran tentang diriku sendiri. egois?, memang, tapi harus kuselesaikan ini. diluar sana banyak umat yang dengan semangat membara akan datang ke Jakarta, bergabung dalam barisan. Memenuhi panggilan jihad. Beberapa teman pun berencana ikut, beberapa juga ingin turut serta tapi banyak hal yang menghambat.  Satu hal yang masih aku percaya. Tidak masalah aku tidak turut serta dalam aksi yang kemudian disepakati sebagai kegiatan istighosah dan doa bersama untuk negeri itu, dengan alasan bahwa jihadku saat ini adalah menuntut ilmu. Meskipun itu seolah sebagai pembenaran, tapi menuntut ilmu memang senyatanya adalah bagian dari jihad.
Aku hanya tertarik pada berbagai analisis yang dilontarkan oleh para dosen yang mengajar dikelas. Berbagai sudut pandang disajikan dari beberapa dosen. Dan itu bagiku lebih bermutu daripada mereka-mereka yang menghadirkan analisis di layarkaca dengan diintervesi kepentingan media untuk mengarahkan opini publik. Meninabobokan publik dengan analisis yang dianggap oleh seorang dosen hanya “kulit” dari persoalan yang terjadi.
Sedikit tidak hirau dari persoalan diatas, pikiranku saat ini masih berkutat pada skripsi, manchester university, dan “ukhti”. Hahaha. Luar biasa saya kira. Visioner. Skripsiku masih belum juga mulai kujemput dari sang pemilik segalanya. Sudah kucoba membaca skripsi yang tersedia di perpustakaan, pun buku-buku yang bertebaran di perpustakaan. Belum juga kutemui titik terang. Tapi bagiku ini adalah sebuah langkah radikal, aku sudah menghibahkan diriku untuk setia mendatangi gedung yang dipenuhi buku-buku itu. tinggal tunggu waktu saja kapan Tuhan akan mengilhamkan sebuah ide untuk kugarap.
Sering aku mengawang-awang, bagaimana bisa nanti aku melanjutkan kuliah ke inggris, universitas manchester. Aku bukan mahasiswa yang berpikiran kritis, aku bukan mahasiswa aktivis, aku bukan mahasiswa yang pandai berdebat kritis, aku bukan mahasiswa yang mampu menulis dengan berbagai analisis. Aku hanya mahasiswa cupu. Yah, itulah realitasnya. Luar biasa tragis saya kira bung. Kalau dibanding dengan mahasiswa lain yang super dan hebat-hebat, aku bagaikan buih dilautan yang hanya bisa terombang-ambing pasrah menerima terjangan ombak dan kemudian terbawa arus. Tapi sudah lah, aku masih punya Allah, yang punya semuanya, yang mengikrarkan diri-Nya sebagai Raja. Dia bilang kalau mau segala sesuatu, mintalah, nanti Aku kabulkan. Oke, aku percaya itu. aku percaya Dia lah yang memiliki segalanya, Dialah Raja. Tugasku hanya minta pada-Nya, bukan pada yang lain. tentu sembari ikhtiar, minimal belajar lah dan persiapan-persiapan lain. biar nanti ketika datang waktunya aku tinggal berangkat saja. Biar Allah yang mengatur. Logikaku, atau logika manusia pada umumnya, tidak akan sampai, pasti mentok. Biar Dia yang mengatur skenarionya.
Satu lagi yang selalu menyesaki dan telah mengambil ruang di salah satu sudut pikiran, dia, yang anggun, yang bersahja, yang teduh-meneduhkan. Sering aku berpikir bagaimana caranya nanti aku bisa dipertemukan kembali dengan dia dalam kondisi kami sebagai insan yang telah matang dan siap mengarungi masa depan. Banyak formasi dan skema yang kupikirkan. Tapi ya itulah, namanya juga manusia. sering menemui jalan buntu. Sama seperti soal universitas manchester tadi. Dan kembali lagi jawabannya adalah cukup minta saja pada Allah, pemilik segalanya, yang mengikrarkan diri sebagai Raja semesta. Cukup. Itu saja. Kadang juga terpikirkan soal bagaimana kondisi dia saat ini, keadaan dia saat ini, apakah dia baik-baik saja di sudut dunia sana. Tapi sudahlah, biar sekarang itu menjadi urusan Allah, biar Allah yang menjaganya. Aku percaya pada Allah. Nanti pasti akan datang saat dimana dirinya juga menjadi urusanku.
Cukuplah ceramah para dosen menjadi salah satu pisau analisis atas kegaduhan politik saat ini. Cukuplah ceramah KH Yusuf Mansur tentang keyakinan pada Allah, menjadi pemantik ledakan semangat saat dan kegaduhan pikiran tentang skripsi, manchester university, dan ukhti, yang mengusik hari-hari di penghujung status sebagai mahasiswa di kampus yang katanya salah satu terbaik di Indonesia, tapi memang benar yang terbaik. Aku hanya bisa berjalan, ikhtiar, dan berdoa meminta pada sang Raja. Pasti ada jalannya, tak perlu dipikirkan bagaimana sang Raja mengatur skenarionya, cukup ikhtiar dan doa. Cukup. Itu saja.



Read more ...

Kamis, 17 November 2016

SIMBOK


Ada satu cerita pendek yang menarik, saya menemukannya dari salah satu grup media sosial. ini soal dunia, rezeki, iman, perspektif, dan kelapangan hati. mungkin banyak makna lain yang bisa digali dari cerita dibawah ini. insyaalloh cukup membuat kita sedikit merenung.


S I M B O K

"Mbok,  kita kan sekarang cuma tinggal berdua, kenapa simbok tetap masak segitu banyak?

Dulu waktu kita masih komplet berenam aja simbok masaknya selalu lebih. Mbok yao dikurangi, mbook...ben ngiriit.." kataku dg mulut penuh makanan masakan simbokku siang ini: nasi liwet anget, sambel trasi beraroma jeruk purut, tempe garit bumbu bawang uyah, sepotong ikan asin bakar,  dan jangan asem jowo. Menu surga bagiku.

Sambil membenahi letak kayu2 bakar di tungku, simbok menjawab, "Hambok yo ben toooo..." "Mubazir, mbok. Kayak kita ini orang kaya aja.." sahutku.
"Opo iyo mubazir? Mana buktinya? Ndi jal?" tanya simbok kalem. Kadang aku benci melihat gaya kalem simbok itu. Kalo sudah begitu, ujung2nya pasti aku bakal kalah argumen.
"Lhaa itu?, tiap hari kan yo cuma simbok bagi2in ke tetangga2 to? Orang2 yg liwat2 mau ke pasar itu barang??" aku ngeyel.
"Itu namanya sedekah, bukan mubazir.. Cah sekolah kok ra ngerti mbedakke sodakoh ro barang kebuang.."
"Sodakoh kok mban dino?! Koyo sing wes sugih2o wae, mbooook mbok!" nadaku mulai tinggi.
"Ukuran sugih ki opo to, Kir?" Ah, gemes lihat ekspresi kalem simbok itu!
"Hayo turah2 leh duwe opo2..Ngono we ndadak tekon!"
"Lha aku lak yo duwe panganan turah2 to? Pancen aku sugih, mulo aku iso aweh...". Tangannya yg legam dg kulit yg makin keriput menyeka peluh di pelipisnya. Lalu simbok menggeser dingkliknya, menghadap persis di depanku. Aku terdiam sambil meneruskan makanku, kehilangan selera utk berdebat.
"Le, kita ini sudah dapat jatah rejeki masing2, tapi kewajiban kita kurang lebih sama: sebisa mungkin memberi buat liyan. Sugih itu keluasan atimu untuk memberi, bukan soal kumpulan banda brana. Nek nunggu bandamu mlumpuk  lagek aweh, ndak kowe mengko rumongso isih duwe butuh terus, dadi ra tau iso aweh kanthi iklas. Simbokmu iki sugih, le,  mban dino duwe pangan turah2, dadi iso aweh, tur kudu aweh. Perkoro simbokmu iki ora duwe banda brana, iku dudu ukuran. Sing penting awake dewe iki ora kapiran, iso mangan, iso urip, iso ngibadah, kowe podo iso sekolah, podo dadi uwong.. opo ora hebat kuwi pinaringane Gusti Allah, ingatase simbokmu iki wong ora duwe tur ora sekolah?", simbok tersenyum adem.
"Iyo, iyoooooh.."
"Kowe arep takon ngopo kok aku masak akeh mban dino?"
"He eh."
"Ngene, Kir, mbiyen simbahmu putri yo mulang aku. Jarene: "Mut, nek masak ki diluwihi, ora ketang diakehi kuwahe opo segone. E....mbok menowo ono tonggo kiwo tengen wengi2 ketamon dayoh, kedatangan tamu jauh, atau anaknya lapar malam2, kan paling ora ono sego karo duduh jangan..".. ngono kuwi, le. Dadi simbok ki dadi kulino seko cilik nyediani kendi neng paran omah kanggo wong2 sing liwat, nek mangsak mesti akeh ndak ono tonggo teparo mbutuhke. Pancen niate wes ngunu kuwi yo dadi ra tau jenenge panganan kebuang2... Paham?"
Aku diam. Kucuci tanganku di air baskom bekas simbok mencuci sayuran. Aku bangkit dari dingklikku di depan tungku, mengecup kening keriput simbokku, trus berlalu masuk kamar.

Ah, simbok. Perempuan yg ngga pernah makan sekolahan dan menurutku miskin itu hanya belajar dari simboknya sendiri dan dari kehidupan, dan dia bisa begitu menghayati dan menikmati cintanya kepada sesamanya dg caranya sendiri. Sementara aku, manusia modern yg bangga belajar kapitalisme dgn segala hitung2an untung rugi, selalu khawatir akan hidup kekurangan, lupa bhw ada Tuhan yang menjamin hidup setiap mahluk yg bernyawa. Simbokku benar: sugih itu kemampuan hati utk memberi utk liyan, bukan soal mengumpulkan utk diri sendiri.
Read more ...

Rabu, 16 November 2016


Sebuah judul buku belakangan ini mengusik pikiran dan ingin rasanya segera membacanya. buku itu berjudul Menuju Jama’atul Muslimin; Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam, yang ditulis oleh Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA. terbit tahun 2009 dan tebal kurang lebih 400-an halaman. yah, saya cuma penasaran saja pada bagian apa sebenarnya landasan filosofis sebuah jamaah itu bergerak dan motodologi gerakan yang diterapkan dalam jamaahnya. sehingga sepertinya kok banyak jamaah yang jalan sendiri-sendiri, padahal yang dibutuhkan adalah satu kesatuan jamaah. ternyat banyak aspek lain yang dijelaskan dalam buku ini.

coba bertanya pada beberapa teman, katanya punya, tapi sedang dipinjam.hehehe. untuk melampiaskan rasa penasaran, sembari coba cari pinjeman bukunya, saya cari resume dari beberapa portal dunia maya, dan dibawah ini ada resume yang diambil dari portal dakwatuna.com yang bahasanya lebih sederhana dan rapi.
monggo dibaca....lumayan, minimal nambah pengetahuan



Kandungan Buku

Buku ini terdiri atas tiga bab atau bagian utama. Bagian pertama, menjelaskan mengenai Haikal Jama’atul Muslimin (Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin). Dalam bab ini, al-Ustadz Husain Jabir telah berusaha menjelaskan secara konsepsional berdasar tinjauan syariat Islam yang menunjukkan betapa pentingnya wujud sebuah Jama’atul Muslimin. Ia awali pembahasannya dengan mengupas makna umat Islam, baik dari bahasa maupun geografis. Kemudian ia lanjutkan dengan membahas mengenai urgensi syura sebagai lambang tertinggi yang darinya lahir berbagai kebijaksanaan sebagai manifestasi political will umat Islam. Sejalan dengan itu tak mungkin terwujud sebuah syura berskala global, meliputi seluruh umat tanpa adanya imamah atau sistem kepemimpinan. Dalam membahas fasal ini, penulis telah menjelaskan bahwa yang terpenting adalah mewujudkan dan menjaga imamah-nya (kepemimpinan), bukan masalah siapa yang menjadi imam. Artinya bisa saja sang imam bukan berasal dari keturunan Quraisy, asalkan ia memiliki kelayakan sebagai pemimpin umat. Penulis berpendapat bahwa manakala kesatuan umat Islam dengan segala karakteristik positifnya telah terbentuk, ditambah lagi adanya lembaga syura yang berjalan di dalam kerangka sebuah imamah, berarti pada saat itulah sebuah Jama’atul Muslimin telah eksis dengan segala makna hakikinya. Oleh karenanya, bagian pertama ini ia akhiri dengan membahas secara khusus tujuan Jama’atul Muslimin, baik tujuan khusus maupun tujuan umum, apalagi di masa kini, di mana sebagian kaum Muslimin lalai terhadapnya. Maka kami merasa perlu untuk membicarakannya di sini.

Menurut al-Ustadz Husain Jabir rahimahullah terdapat empat tujuan khusus jama’atul Muslimin, yaitu:
1. Pembentukan pribadi-pribadi Muslim (binaa’al-fard al-muslim)
2. Pembentukan rumah tangga Muslim (binaa’al-usrah-al-Muslimah)
3. Pembentukan masyarakat Muslim (binaa’al-mujtama’al-Muslim)
4. Penyatuan umat Muslim (Tauhid al-ummah al-Islamiyah)

Adapun tujuan umum Jama’atul Muslimin, menurut penulis buku ini, ada enam, yaitu:
1. Agar seluruh manusia mengabdi kepada Rabb Nya yang Maha Esa
2. Agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar
3. Agar menyampaikan dakwah Islam kepada segenap umat Manusia
4. Agar menghapuskan fitnah dari segenap muka bumi
5. Agar memerangi segenap umat Manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang benar (syahadatain)

Olehnya, dapatlah kita pahami mengapa ketika penulis menguraikan pendahuluan dari buku ini, beliau mengajukan sebuah pertanyaan: “Adakah Jama’atul Muslimin di dunia sekarang ini?” Dan kemudian beliau sendiri menyimpulkan jawabannya bahwa berbagai pemerintahan Islam yang ada saat ini tidak satu pun yang memenuhi persepsi konsepsional mengenai Jama’atul Muslimin yang dicita-citakan oleh setiap muslim yang cinta akan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Maka di dalam bagian kedua bukunya, penulis melanjutkan bahasannya dengan judul ath-Thariq ila Jama’atil Muslimin (Jalan Menuju Jama’atul Muslimin). Bagian kedua ini sedemikian pentingnya sehingga penulis menjadikannya tema sentral, bahkan menjadikan judul buku ini secara keseluruhan. Bagian kedua ini diawali dengan pembahasan mengenai fasal al-ahkam al-Islamiyah (Hukum-hukum Islam).

Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk kaum Muslimin, mempunyai persepsi keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan seolah-olah hukum Islam merupakan aturan yang kuno, bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa ia merupakan hukum yang sadis, kejam, dan tidak manusiawi. Apalagi setelah berbagai putusan pengadilan di beberapa negeri muslim yang memberlakukan hukum pidana Islam kemudian menjatuhkan vonis rajam bagi pezina, atau potong tangan bagi para pencuri, lalu hal ini diekspos oleh berbagai surat kabar dan majalah dengan suatu pendekatan anti Islam yang semakin memperkokoh kesalahpahaman umat manusia akan hakikat serta keadilan hukum Islam. Mengapa hal ini terjadi?

Sebab pokoknya adalah karena sebagian besar negeri-negeri yang menerapkan hukum-hukum Islam tidak memahami, apalagi mengaplikasikan syumuliyah (totalitas) ajaran Islam sebagai way of life atau minhaj al-hayah. Itulah alasannya mengapa penulis buku menganggap perlu menyisipkan bahasan yang diberi judul “Tidak ada Sektoralisasi dalam Hukum Islam.” Manakala Islam dipahami secara syamil, niscaya penerapan ajaran Islam akan mencakup tidak saja hukum pidana, melainkan juga pemberlakuan ideologi Islam di negara yang bersangkutan. Demikian pula berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti di bidang politik, sosial budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. Semua akan diselenggarakan berdasarkan dan sesuai nafas ajaran Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana, al-Islam. Adapun sekarang, apakah yang kita saksikan di tengah kebanyakan negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim? Di satu segi ada semangat untuk tetap memelihara warisan suci ajaran Islam, terutama di bidang ibadah praktis atau hukum pidana Islam, namun di sisi lain kita melihat bagaimana berbagai aspek kehidupan selepas itu diatur oleh ajaran-ajaran produk manusia yang sudah barang tentu mengandung banyak ketidaksempurnaan! Di satu sisi, semangat untuk memotong tangan sebagai sanksi bagi para pencuri terus ditumbuhkan, namun di sisi lain pengelolaan zakat sebagai landasan di dalam masyarakat tidak ditangani secara serius. Atau hukum rajam bagi para pezina ingin diterapkan, tetapi berbagai film-film seronok, majalah dan bacaan-bacaan cabul merambah dengan leluasa di tengah kaum muda umat. Inilah peringatan Allah yang jelas tertera dalam Al-Qur’an:

Apakah kamu beriman kepada sebagian al-kitab (Qur’an) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 85)

Ajaran Islam bersifat syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh, sempurna, dan saling menyempurnakan). Sedangkan Muslim memiliki al-qudrah al-juz’iyyah al-mahdudah (kemampuan sektoral dan terbatas). Oleh karenanya tidak mungkin Islam akan tertegak secara utuh manakala kaum muslimin menerapkannya secara individual. Ia mestilah diterapkan secara jama’i (kolektif). Harus ada suatu upaya ‘amal jama’i agar kesempurnaan Islam dapat terealisasi dalam kehidupan kolektif kaum Muslimin. Sedangkan kehidupan amal jama’i tidak akan mungkin terwujudkan dengan sempurna kecuali setelah terbentuknya sebuah tatanan dakwah yang memadai. Tatanan dakwah inilah yang merupakan fokus pembahasan penulis.

Maka di dalam fasal berikutnya penulis melanjutkan pembahasannya dengan menguraikan “langkah pertama Rasulullah SAW dalam Membina Jama’ah”. Setelah itu beliau membahas “Rambu-rambu dari sirah Nabi dalam Menegakkan Jama’ah” yang berisi enam karakteristik pokok sebuah jamaah, antara lain:
* Nasyr mabaadi’ ad-dakwah (menyebarkan prinsip-prinsip dakwah)
* At-takwin ‘alaa ad-dakwah (Pembentukan Dakwah)
* Al-mujabahah al-Musallahah (konfrontasi bersenjata)
* Al-sirriyah fi binaa’al-jamaah (sirriyah dalam membina jama’ah)
* Ash-shabru’ala al-adza (bersabar atas gangguan musuh)
* Al-Ib’aad ‘an saahah al-ma’rakah (menghindari medan pertempuran)

Kemudian bagian dua ditutup dengan membahas “Tabi’at Jalan Menuju Jama’atul Muslim”. Dan yang terpenting kita catat adalah berbagai contoh sepanjang perjalanan sejarah dakwah yang telah diuraikan secara baik sekali oleh al-Ustadz Husain Jabir.

Di dalam bahasan ketiga, penulis membahas bab berjudul “al-jama’ah al-Islamiyah al-‘Amilah fii Haql ad-Da’wah al-Islamiyyah” (beberapa Jamaah Islam di Medan Dakwah). Beliau mengangkat beberapa kasus dalam realitas dunia dakwah dewasa ini, sebelum langsung membahas satu per satu jamaah Islam yang ada, penulis mengawali tulisannya dengan fasal “Kondisi Amal Islami setelah Jatuhnya Khilafah Utsmaniyah”.

Penulis mengambil empat Jamaah sebagai sampel pembahasan. Masing-masing mewakili kecenderungan berbeda.

Pertama, Jama’ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah, berdiri dan berkembang di Mesir. Jama’ah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sosial dan ilmu pengetahuan (ijtimaiyyah wa ats-tsaqofah). Sering pula di sebut sebagi gerakan Salafi.

Kedua, Jama’ah Tabligh, yang lahir di India. Jamaah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sufiyyah.

Ketiga, Jama’ah Hizb at-Tahrir yang lahir dan bermula di Yordania. Jamaah ini berorientasi pada seruan Politik (as-siyasi).

Keempat, Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan di Mesir. Penulis menganggap bahwa jamaah ini mewakili gerkan dakwah yang memiliki karakteristik Syamil (Menyeluruh). Tidak hanya memperhatikan aspek sosial dan ilmu pengetahuan semata, melainkan juga aspek sufiyyah dan aspek siasiyyah, bahkan juga meliputi aspek harakiyyah dan jihadiyyah (pergerakan dan Jihad). [Sumber: Dr. Salim Segaf al-Jufri, Kata Pengantar buku Menuju Jama’atul Muslimin]
Read more ...

Ahok Hanya Kurang Beruntung Saja


Agama memang menjadi isu sensitif yang dibicarakan di ruang publik. Agama menjadi identitas yang sangat abstrak namun ia juga menjadi identitas paling mampu menjelaskan perbedaan antara satu individu dengan individu lainnya. perdebatan apakah agama layak untuk di jalankan bersandingan dengan negara atau memisahkan sama sekali urusan agama dengan negara pun merupakan debat panjang yang melelahkan. Nyatanya, saat ini banyak negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan kenegaraan.

Penistaan agama, penghinaan agama, pelecehan agama, atau apapun itu istilahnya, merupakan salah satu isu yang sangat sensitif, ia mampu menimbulkan kegaduhan di publik ketika ada satu agama yang dilecehkan. Ahok, agaknya kurang beruntung ketika ocehannya di ruang publik kemudian menyeretnya pada kasus penistaan agama. kita mungkin sudah sering mendengar bagaimana kronologinya sampai aksi massa yang menjadi buntut dari ocehan yang dilontarkan Ahok, dan tindak lanjutnya diranah hukum. semua sudah tersedia di berbagai media massa, bahkan beranda atau timeline media sosial kita.

Kalau kita cermati, salah satu penyebab mengapa kasus ini berbuntut panjang adalah karena Ahok berada dalam posisi sebagai pejabat publik. dalam dirinya ada embel-embel pejabat publik, gubernur Jakarta. itulah mungkin yang menjadi ketidakberuntungan seorang Ahok, jabatan yang melekat pada dirinya sebagai pejabat publik. kalau kita lihat perdebatan panjang di media sosial yang menyajikan dan membahas bahkan saling menghina antar umat beragama, maka akan kita temukan banyak penghinaan yang lebih pedas, lebih tidak enak didengar, dan mencerminkan sebagai seorang warga negara yang uncivilize. tapi kalau dicari satu-persatu akun-akun yang kurang kerjaan itu, butuh waktu yang panjang dan jumlahnya tidak sedikit. bisa pusing para penegak hukum kita nanti. bisa jadi itu juga akun-akun palsu yang sengaja dibuat untuk mengadu domba. mereka itu hanya kelompok masyarakat yang tidak jelas.

Ada celotehan lain yang sempat muncul, lah si Zakir Naik itu piye? setiap ceramah dan debatnya pasti menghujat agama lain. kalau dilihat sekilas memang itu tampak menghujat agama lain. tapi dia bekerja dalam ranah keilmuan, dia berada dalam mimbar akademik. dia tampak seolah menghujat, tapi lebih tepatnya dia menggugat secara keilmuan. dia punya institusi bernama mimbar akademik, yang katanya setiap orang bebas mengungkapkan gagasannya atau menggugat dan mengkritisi gagasan orang lain.

Jadi, kalau boleh berpendapat, persoalan si bang Ahok ini hanya soal ketidakberuntungan saja. posisi nya sebagai pejabat publik mengharuskannya bersikap selayaknya seorang pejabat publik. tapi disisi lain, gaya komunikasinya yang ceplas-ceplos dan terkesan kurang santun juga membuat banyak kalangan tidak menyukainya. jadi sepertinya memang sudah diincar banyak orang, tinggal nunggu keplesetnya saja. eh, ternyata benar, datang juga waktunya, sang tupai pun terjatuh setelah berlarian dari satu pohon ke pohon lainnya. 

Yah, buat pejabat publik lainnya, hati-hati ya, jangan suka kebablasan kalo berbicara di depan publik. kalau emosi, tahan saja. ungkapkan emosimu di rumah. di kamar mandi bisa juga, teriak sekencang-kencangnya, setelah itu bernyanyi melepas kepenatan, biar syetan ikutan joget. astoghfirulloh. kalau lagi mandi ngga boleh sambil nyanyi ding, lupa saya.   

Read more ...

Minggu, 13 November 2016

11 fase kehidupan manusia dalam falsafah Jawa


Falsafah merupakan pandangan dalam hidup yang menjadi hal penting yang diketahui, dipahami, dan dijalani oleh sebuah entitas masyarakat. Jawa sebagai sebuah suku bangsa yang sangat besar dan telah tumbuh dan berkembang bukan hanya dipulau Jawa saja, tapi telah menyebar sampai ke berbagai penjuru nusantara. Banyak masyarakat Jawa yang berpindah ke pulau lain di Indonesia, bahkan ada juga yang sampai di luar negeri, salah satunya di suriname. Perpindahan penduduk dari pulau jawa ke pulau lain banyak disebabkan oleh program Transmigrasi yang pada awalnya digagas pada masa Kolonial. Sebagai sebuah suku bangsa yang besar, tentunya terdapat falsafah yang lahir dari peradaban ini. landasan filosofis sebuah kehidupan yang dijadikan patokan dalam berpikir dan bermasyarakat.
Dibawah ini ada tullisan menarik, lebih singkat, padat, dan mudah dipahami, tentang fase kehidupan manusia dalam falsafah jawa. Yah, ini bisa dijadikan sebagai penambah wawasan tentang local knowledge. Bisa juga dijadikan bahan renungan atau relfeksi. Monggo dibaca….   

11 fase kehidupan manusia dalam falsafah Jawa sbb :

*1. Maskumambang*

Simbol fase ruh/kandungan di mana kita masih "mengapung" atau "kumambang" di alam ruh dan kemudian di dalam kandungan yang gelap.

*2. Mijil*

Mijil artinya keluar. Ini adalah fase bayi, dimana kita mulai mengenal kehidupan dunia. Kita belajar bertahan di alam baru.

*3. Sinom*

Sinom adalah masa muda, masa dimana kita tumbuh berkembang mengenal hal2 baru.

*4. Kinanthi*

Ini adalah masa pencarian jati diri, pencarian cita2 dan makna diri.

*5. Asmaradhana*

Fase paling dinamik dan ber-api2 dalam pencarian cinta dan teman hidup.

*6. Gambuh*

Fase dimulainya kehidupan keluarga dengan ikatan pernikahan suci (gambuh). Menyatukan visi dan cinta kasih

*7. Dhandang Gula*

Ini adalah fase puncak kesuksesan secara fisik dan materi (dhandang = bejana). Namun selain kenikmatan gula (manisnya) hidup, semestinya diimbangi pula dengan kenikmatan rohani dan spiritual.

*8. Durma*

Fase dimana kehidupan harus lebih banyak didermakan untuk orang lain, bukan mencari kenikmatan hidup lagi (gula). Ini adalah fase bertindak sosial. *Dan berkumpul dengan teman2 seperjuangan, bersosialisasi.

*9. Pangkur*

Ini adalah fase uzlah (pangkur-menghindar), fase menyepi, fase kontemplasi, mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Menjauhkan diri dari gemerlapnya hidup.

*10. Megatruh*

Ini fase penutup kehidupan dunia, dimana Ruh (Roh) meninggalkan badan (megat: memisahkan). Fase awal dari perjalanan menuju keabadian.

*11. Pucung*

Fase kembali kepada Allah, Sang Murbeng Dumadi, Sangkan Paraning Dumadi. Diawali menjadi pocung (jenazah), ditanya seperti lagu pocung yang b berisi pertanyaan. Fase menuju kebahagiaan sejati, bertemu dengan yang Mahasuci.

Nah…sekarang..Panjenengan di tahap mana?


Semoga bermanfaat...
Read more ...

Sabtu, 12 November 2016

Gus Mus : “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”


Akhir-akhir ini saya sedang tertarik dan menikmati sebuah puisi yang dikarang oleh Gus Mus atau KH. Mustofa Bisri. puisi yang saya kira menggambarkan kondisi seseorang/kelompok/enitas yang dilematis, berada dalam tarik ulur. puisi ini menggambarkan sebuah kritisme seseorang terhadap kondisi yang menjeratnya. tapi, apapun itu, kita bisa menafsirkan atau menginterpretasikan sesuai dengan pandangan kita terhadap puisi tersebut. karena banyak makna yang bisa digambarkan dari puisi ini.
yah, dari pada saya ceramah ngalor-ngidul, dibawah ini ada teks dan video puisi karangan Gus Mus yang paling saya sukai. sampai saat ini, ini puisi paling josss ( menurut saya ).




“Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana”

Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilNya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi
Aku kau suruh bertanggung jawab, kau sendiri terus berucap Wallahu A’lam Bisshowab

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah ku pilih kau bertindak sendiri semaumu
Kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

Kau ini bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaimana
-1987-
Read more ...

Selasa, 08 November 2016

Tentang Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim

source : insists.id

Jumat tanggal 4 November 2016 lalu, disaat banyak umat muslim ikut ambil bagian dalam unjuk rasa atau demo, yang saya kira itu sangat dahsyat, saya memilih mengikuti kuliah Agama dan Tata Politik di kelas. Pembahasan di kelas saat itu adalah perdebatan panjang tentang dasar negara di Indonesia. Tarik-menarik paling kuat dalam perdebatan itu adalah terkait dengan posisi agama dalam dasar negara itu. Ada kekuatan politik yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara, dan mengupayakan hal itu baik melalui jalur parlementer maupun ekstra parlementer. 

Tapi dalam sesi kuliah, tersebut salah satu tokoh pergerakan, tokoh intelektual muslim, yang menarik bgi saya untuk, minimal mengetahui siapa beliau, dan bagaimana kiprah beliau. Dialah Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Seorang tokoh pergerakan dan tokoh intelektual muslim, yang mungkin namanya jarang terdengar, namun kontribusi dan kiprahnya sangat besar. berikut saya copas-kan dua artikel yang bisa memberi sedikit gambaran tentang beliau (saya tidak sempat menulis ulang atau mem-parafrasekan tulisan dibawah ini, tapi sudah dicantumkan sumber rujukannya).


Tahun 2008 mungkin bisa disebut sebagai tahun belasungkawa bagi Indonesia. Beberapa putra terbaik bangsa berpulang ke haribaan Sang Pencipta.
Khusus bagi kalangan aktivis gerakan Islam, duka mendalam terasa amat menyesakkan dada karena satu demi satu tokoh-tokoh pentingnya wafat. Setelah Prof Nurcholish Madjid (20/8/2005), Prof Deliar Noer (18/6/2008), kini Dr Muhammad Imaduddin Abdulrahim menyusul wafat pada hari Sabtu (2/8) karena penyakit stroke yang sudah cukup lama dideritanya.
Bagi kalangan aktivis gerakan Islam dan intelektual Muslim, kepergian Bang Imad panggilan akrab sang cendekiawan jelas kehilangan besar. Dr Imaduddin salah satu tokoh utama yang mewakili generasi baru intelektual Muslim yang muncul sejak dekade 1970-an, suatu lapisan kelompok terpelajar yang di kemudian hari memberi kontribusi besar bagi terbentuknya struktur baru masyarakat Muslim Indonesia, sekaligus membawa pengaruh signifikan terhadap dinamika sosial-politik di pentas nasional.
Lahir pada 21 April 1931 di Langkat, Sumatra Utara, dari keluarga terpelajar dan terpandang, ayah seorang pendidik dan hakim agama lulusan Universitas Al-Azhar dan ibu keturunan bangsawan kesultanan Riau, Dr Imaduddin sejak muda sudah memiliki bakat cemerlang dan mempunyai orientasi kuat pada aktivisme dan gerakan Islam. Kecenderungan ini tentu lantaran pengaruh sang ayah yang menjadi salah satu pemimpin teras Masjumi pada zaman itu.
Sebagai anggota keluarga aristokrasi Melayu, Imaduddin punya social privilege untuk menempuh pendidikan di sekolah Belanda, Hollandsch Inlandische School (HIS). Ketika masih di sekolah menengah, dia menjadi anggota tentara pelajar Muslim, Hizbullah, yang bergerak di masa perjuangan kemerdekaan. Setelah menamatkan pendidikan menengah, dia memendam cita-cita besar melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk mendalami teknik elektro setelah terkesan pidato Bung Hatta mengenai pentingnya bidang ilmu tersebut bagi bangsa Indonesia di masa depan.
Di kampus ITB bakat cemerlang dan orientasi aktivisme Imaduddin menemukan lahan subur untuk berkembang. Dia sosok intelektual Muslim berkarakter kuat dan berintegritas tinggi yang memiliki komitmen besar dalam perjuangan Islam yang uniknya justru ditempuh melalui perguruan tinggi sekuler. Bahkan, proses pembentukan dan pengasahan talenta intelektual yang kemudian menjadikan seorang Imaduddin sebagai cendekiawan Muslim terpandang justru melalui sistem pendidikan modern-sekuler di Barat, ketika melanjutkan sekolah jenjang master (MSc) dan doktor (PhD) di Iowa State University, Amerika.
Keterlibatan Imaduddin dalam gerakan Islam berpusat di dua tempat, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Masjid Salman-ITB. Di HMI, dia pernah memimpin Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) dan melakukan pendidikan kader dakwah bagi mubaligh-mubaligh muda, yang direkrut dari kalangan mahasiswa Islam. Di bawah kepemimpinan Imaduddin Abdulrahim, LDMI berkembang dan sangat populer di kalangan aktivis HMI, bahkan menyaingi popularitas PB-HMI yang menjadi induk LDMI. Di Masjid Salman-ITB, dia terlibat sejak perintisan, kepanitiaan pembangunan, sampai pengelolaan kegiatan masjid, dan menjadi wakil ketua takmir masjid.
Setelah tak lagi menjabat pimpinan LDMI, dia meneruskan program pelatihan dakwah melalui Masjid Salman-ITB yang mengundang minat besar aktivis gerakan Islam yang bukan semata unsur HMI, tetapi juga mahasiswa Islam secara umum di berbagai perguruan tinggi di Bandung yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Dia merancang secara khusus program pelatihan mubaligh untuk melahirkan kader-kader dakwah.
Semula program ini diberi nama Latihan Kader Dakwah (LKD), kemudian berubah Latihan Mujahid Dakwah (LMD), yang dimaksudkan sebagai kawah candradimuka untuk mendidik dan melatih calon-calon mujahid dalam perjuangan Islam. Ketika sentimen negatif masih kuat terhadap Islam, gerakan Islam, dan politik Islam antara dekade 1970-an dan 1980-an, kegiatan LKD-LMD yang dibina Imaduddin mengundang kecurigaan penguasa rezim Orde Baru, terutama kalangan militer yang secara nyata menunjukkan sikap anti-Islam politik.
Untuk menghindari tekanan politik, Imaduddin mengubah nama menjadi Studi Islam Intensif (SII), selain untuk memperluas cakupan program dan kegiatan yang tidak lagi terbatas pada dakwah, tetapi meliputi pemahaman keislaman dalam konteks luas. Dalam proses pelatihan LKD-LMD-SII, tiga hal penting yang selalu ditekankan: (1) pengetahuan dasar tentang Islam, (2) pananaman jiwa perjuangan dalam gerakan Islam, dan (3) komitmen terhadap pembangunan umat Islam. Mengingat pelatihan ini untuk melahirkan tokoh pendakwah dan mujahid Islam, rekrutmen kader dakwah dilakukan secara ketat melalui seleksi khusus dengan mempertimbangkan dua hal penting: (1) prestasi akademis yang mencerminkan daya intelektual dan (2) bakat kepemimpinan yang tinggi.
Kedua hal itu mutlak diperlukan karena para kader dakwah akan menjadi pelopor perjuangan Islam. Dia mengadaptasi model pelatihan kader dakwah dari organisasi Ikhwanul Muslimin pimpinan Hassan Al-Banna (Mesir) dan Jami’at-i-Islam pimpinan Abul A’la Maududi (Pakistan). Model pelatihan kader dakwah yang dikembangkan Imaduddin bukan saja mengundang minat aktivis mahasiswa Islam Indonesia, melainkan juga tokoh Muslim Malaysia. Terkesan oleh ceramah Imaduddin di Masjid Salman-ITB dan terpikat oleh model pendidikan dakwah LKD-LMD, seorang pejabat tinggi Pemerintah Malaysia secara khusus mengudangnya untuk melakukan pelatihan dakwah serupa, yang mula-mula berbasis di University Technology of Malaysia dan kemudian menyebar di berbagai perguruan tinggi besar seantero negeri.
Di antara banyak kader militan yang lahir adalah Anwar Ibarahim, yang di kemudian hari menjadi tokoh penting dalam panggung politik Malaysia, dengan karier politik cemerlang sampai terpilih menjadi timbalan perdana menteri. Terinspirasi oleh organisasi HMI melalui figur prominennya, Imaduddin Abdulrahim, aktivis mahasiswa Islam Malaysia merintis pembentukan organisasi Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) pada 1972, yang menandai kemunculan Islamic revivalism di negeri jiran dan menjadi jembatan-emas jalinan persahabatan antara tokoh-tokoh gerakan Islam Indonesia-Malaysia.
Ketokohan Dr Imaduddin Abdulrahim juga tampak sangat menonjol di kalangan intelektual Muslim seperti terlihat dalam proses pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Desember 1991. Kepeloporan Imaduddin ini mewakili aspirasi politik umat Islam ketika kelompok intelektual Muslim meningkat secara kuantitatif. Pertumbuhan pesat intelektual Muslim telah membentuk struktur piramida baru dalam strata sosial, yang mencerminkan lapisan masyarakat terpelajar Muslim dalam jumlah sangat besar. Dalam imajinasi Dr Imaduddin Abdulrahim, melalui ICMI diharapkan akan lahir pemimpin Islam dari kalangan intelektual yang berkomitmen tinggi dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Pengarang Inggris peraih hadiah Nobel Sastra, Vadiadhar Surajprasad Naipaul, ketika merekam dinamika gerakan Islam di Indonesia melukiskan pemimpin Islam sejati dalam imajinasi Imaduddin sebagai sosok pemimpin who lived according to the Quran, …who could stand in for the Prophet, …who knew the Prophet’s deeds so well that he would order affairs as the Prophet himself might have ordered them.” (lihat Among the Believers: An Islamic Journey, New York-Knopf, 1981).
Oleh :AMICH ALHUMAMI
Peneliti Sosial Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom.
Dimuat di harian Republika, 5 Agustus 2008
Artikel ini didapat dari

selanjutnya ada artikel menarik yang ditulis oleh Hidayat, M.T., Wendi Zarman, M.Si., Peneliti PIMPIN (InstitutPemikiran Islam dan Pembangunan Insan, Bandung). Tulisan ini didapat dari https://insists.id/dr-ir-imaduddin-abdulrahim/ . bisa memberikan informasi tambahan tentang Bang Imad
Bang Imad, begitu dia biasa disapa. Namanya sangat tidak asing lagi bagi para intelektual Muslim di Indonesia. Kiprahnya dalam dunia dakwah di kampus sangat fenomenal. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia. Banyak mahasiswa dan sarjana berubah pikiran setelah mendengar ceramah Bang Imad atau membaca tulisannya.
Bang Imad! Nama lengkapnya adalah Muhammad Imaduddin Abdulrahim. Ia lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, pada 21 April 1931/ 3 Zulhijjah 1349H. Ayahnya, Haji Abdulrahim, adalah seorang ulama yang juga tokohMasyumi di Sumatera Utara. Sedangkan ibunya, Syaifiatul Akmal, seorangwanita yang merupakan cucu dari sekretaris Sultan Langkat.
Bang Imad dibesarkan dalam tradisi pendidikan Islam yang kuat. Sejak kecil ayahnya sendiri yang langsung mengajarnya al-Qur’an,  berupa tajwid dan tafsir setiap usai shalat subuh.Dalam mengkaji al-Qur’an, ayahnya sering menyelipkan berbagai cerita tentang tokoh-tokoh besar Islam. Cara itu sangat membekas dalam diri Bang Imad, sehingga membentuk semangat perjuangan Islam. Ayahnya juga menyediakan banyak buku dan majalah keislaman di rumah sebagai sumber bacaan baginya. Sementara ibunya berulang-ulang mengingatkan, “Imaduddin”  itu berarti ‘penegak tiang agama’. Ia mengingatkan,  agar anaknya selalu menegakkan shalat.
Didikan kuat sejak kecil, berbekas dalam diri Imaduddin, sehingga tidaklah mengherankan, sedari muda Imaduddin telah memiliki ghirah keislaman yang menyala-nyala. Semangat ini kemudian membawanya berkecimpung dalam berbagai kegiatan dakwah dan perjuangan Islam.
Meskipun aktif dalam kegiatan Islam sejak muda, Imaduddin tidak meneruskan pendidikannya dalam bidang ilmu-ilmu keislaman. Ia justru memilih kuliahTeknik Elektro di ITB. Pilihan ini didukung oleh ketekunan dan kecerdasannya semasa di bangku sekolah.Sejak HIS hingga SMA ia selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelasnya. Demikianlah yang diajarkan ayahnya untuk selalu berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqulkhairat).
Meskipun belajar di perguruan tinggi secular, semangat perjuangan Islam Bang Imad bukannya luntur, tapi malah semakin membara. Begitu diterima sebagai mahasiswa, ia langsung bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bandung dan menggalakkan kegiatan mengkaji al-Qur’an dan tafsirnya di kalangan para aktivis.
Tahun 1963 Bang Imad berangkat keluar negeri melanjutkan S2-nya di Iowa State University, Ames, Iowa, AmerikaSerikat. Tahun 1965 iamenyelesaikan S2-nya dan langsung melanjutkan S3-nya di Chicago. Baru dua bulan di Chicago Bang Imad mendapat kabar tentang terjadinya pemberontakan PKI. Beberapa diindikasikan terlibat sehingga terjadi penangkapan terhadap sejumlah dosen ITB. Akibatnya, terjadi kekosongan pengajar di berbagai jurusan. Bang Imad kemudian diminta pulang untuk membantu mengatasi kelangkaan pengajar tersebut. Sebagai aktivis, Bang Imad memberanikan diri menjadi dosen Agama Islam, disamping juga mengajar pada mata kuliah lain di DepartemenTeknik Elektro.
Konsistensinya dengan ajaran Tauhid membuatnya tidak segan-segan mengritik hal-hal yang dirasanya tidak sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Termasuk pihak penguasa, tak luput dari kritik kerasnya. Tidak mengherankan banyak orang menganggap dirinya sebagai tokoh garis keras. Buku Tauhid yang dikarang oleh Bang Imad, telah menginspirasi ribuan generasi muda Muslim di Indonesia.
Tanggal 23 Mei 1978, seusai memberikan ceramah di Masjid Salman ITB, sekelompok orang berpakaian preman datang kerumahnya. Ia lalu dijebloskan ke penjara di samping Taman Mini Indonesia Indah, selama empat bulan. Akhirnya,  Prof. Dr. Dodi Tisna Amidjaya dating, meminta kepada Pengkopkamtib Sudomo,  waktu itu, agar membebaskan Bang Imad.
Kiprah Bang Imad dalam dakwah sampai menembus dunia internasional. Ia aktif di lembaga-lembaga International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) danWorld Assembly Moslem Youth (WAMY).
Tahun 1970, setelah  hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali normal, Bang Imad menjadi dosen tamu di Universitas Teknologi Malaysia.  Di sini, ia terus menggalakkan dakwah. Saat merancang kurikulum, ia sengaja memasukkan pelajaran agama sebagai mata kuliah wajib agar mahasiswa yang dibentuk di sana bukan hanya menguasai sains modern tetapi juga memahami agama dengan baik.
Mulanya hal ini ditentang oleh rektor  karena tidak masuk dalam program pemerintah. Namun Bang Imad bersikeras dan mengancam pulang ke Indonesia jika usulannya ditolak. Dalam kuliah pertama yang juga dihadiri rektor, dosen, dan mahasiswa,  Bang Imad meyakinkan bahwa agama Islam tidak bertentangan dengan sains dan teknologi. Ceramah ini ditanggapi positif dan menginspirasi banyak orang Malaysia.
Kuliah-kuliah yang disampaikan Bang Imad ternyata member kesan yang dalam bagi mahasiswa dan dosen, sehingga beberapa di antaranya meminta Bang Imad membuat pelatihan sejenis Latihan Mujahid Dakwah (LMD) sebagaimana yang pernah dilakukannya di ITB. Jika di Indonesia,  pelatihan ini diberi nama LMD, di Malaysia pelatihan ini digelari LatihanTauhid. Peserta pelatihan ini diwajibkan membawa al-Qur’an ke kampus. Pelatihan ini membawa perubahan besar di kalangan mahasiswa Malaysia. Sebagaicontoh, mahasiswa yang sebelumnya merasa malu membawa al-Qur’an dan membungkusnya kedalam majalah, setelah pelatihan ini menjadi bangga membawa al-Qur’an ke kampus.
Meskipun sempat tertunda, Bang Imad akhirnya meraih Doktor Filsafat Teknik Industri dan Engineering Valuation dari Iowa State University. Jasanya dalam dunia dakwah sangatlah besar. Pada 2 Agustus 2008, Bang Imad dipanggil Allah SWT. Bang Imad telah berjasa besar dalam upaya mendekatkan antara sains dengan Islam, antara pribadi saintis Muslim dengan Islam itu sendiri.  Bang Imad telah melakukan rintisan besar dalam dunia dakwah di kampus.

Generasi berikutnya berkewajiban melanjutkan perjuangannya. 
Read more ...
Designed By