Salah satu tulisan yang menarik untuk dibaca, saya menemukannya di salah satu buku berjudul "Memilih Partai Mendambakan Presiden". ditengah pergulatan transisi dari orde baru ke era reformasi, muncul perdebatan mengenai penting tidaknya partai islam, bagaimana pelembagaan partai islam yang baik, layak atau tidak umat islam atau ormas-ormas islam di negeri ini mendirikan partai. mengingat saat itu sedang terjadi arus demokratisasi yang membuat semua orang bisa saja berserikat, ataupun mendirikan partai, maka umat islam pun dihadapkan apakah perlu untuk membangun partai-partai yang akan berkontestasi dalam perpolitikan di indonesia. ada yang setuju, ada pula yang tidak setuju. salah satu tokoh intelektual islam yang tidak setuju dengan pendirian partai islam di era-era transisi demokrasi pada kisaran 1998-an adalah beliau Kuntowijoyo. ada bebrapa argumen yang membuatnya tidak setuju untuk umat islam ini mendirikan partai politik. tapi meskipun begitu, realitasnya pada saat itu muncul sedikit banyak partai islam, dan sampai saat ini masih tetap eksis, meskipun juga dengan berbagai problema didalamnya. tapi dari tulisan ini, agaknya harus bisa menjadi sebuah bahan refleksi bagi umat islam dan partai islam.
Berikut tulisan beliau Kuntowijoyo yang mengajukan argumennya tentang tidak perlunya mendirikan partai islam;
..........
Mula-mula Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU) membentuk sebuah panitia pendiri “Partai NU” (hasilnya ialah Partai
Kebangkitan Umat), kemudian Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
merekomendasikan berdirinya sebuah parpol Islam (kelanjutan rekomendasi itu
ialah berdirinya BKUI (Badan Koordinasi Umat Islam) yang akan menjadikan
Kongres Umat Islam dan yang terakhir Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang 5-7
Juli 1998 berijtihad politik untuk mendirikan parpol islam (pribadi warga
Muhammadiyahnya, Kedaulatan
Rakyat, 8 Juli 1998). Dan masih banyak lagi.
Rupa-rupanya itu semua sesuai
dengan aspirasi massa masing-masing di musim semi kebebasan. Lengkaplah sudah
pengotak-ngotakan politik kaum santri yang dibuat oleh tangan umat sendiri
dengan sadar: Satu kotak untuk kaum tradisiomalis (NU), satu kotak untuk kaum
modernis (DDII) dan satu kotak untuk kaum puritan (Muhammadiyah). Reformasi
yang berarti kebebasan demokrasi dan transparansi, menjadi ketertutupan,
pribadi, otoritarian dan eksklusivisme.
Tulisan ini sangat prihatin
dengan keadaan itu. Dengan berakhirnya Orde Baru dan mulainya Orde Reformasi,
umat berada di persimpangan jalan sejarah. Sebagian besar menganggap perubahan
itu sebagai rahmat, sebagian lainya menganggapnya sebagai ujian. Anggapan bahwa
perubahan adalah rahmat telah menghasilkan nostalgia politik untuk kembali ke
masa lalu, sedangkan anggapan perubahan sebagai ujian menimbulkan rintisan ke
arah jalan baru.
Sayang,
anggapan pertama adalah mayoritas, sedangkan anggapan kedua ini hanya
minoritas. Demikianlah, meskipun tulisan ini adalah bagian dari minoritas yang
barangkali hanya teriakan lemah di masa banjir bandang kebebasan, tetapi
rupanya perlu juga dikemukakan. Untuk membebaskan diri penulis dari tanggung
jawab di depan masyarakat ilmiah dan mahkamah sejarah. Di bawah ini adalah enam alas an
mengapa pembentukan parpol Islam adalah kesalahan yang fatal.
1. Terhentinya
Mobilitas Sosial
Waktu
Indonesia merdeka ada harapan bahwa akan terjadi mobilitas vertikal bagi wong cilik, orang kecil akan naik dalam
tangga sosial. Tetapi itu tidak terjadi, di banyak daerah, Indonesia tetap
berada di tangan elite penguasa seperti sebelumnya. Kekecewaan-kekecewaan
itulah yang sebenarnya mendasari beberapa revolusi sosial dekat setelah
Proklamasi yang dipeleopori oleh wong
cilik (abangan), seperti
Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah Utara, Revolusi Sosial di Sumatra Timur
dan Perang Cumbok di Aceh. Seperti diketahui inner
circledari pada pemuda dalam perjuangan kemerdekaan sekitar Proklamasi
pada umumnya adalah kaum abangan.
Dikalangan wong cilik,
santri sendiri, kekecewaan yang sama muncul di tahun 1950-an dalam
pemberontakan DI/TII Kartosuwirjo di Jawa Barat, AOI di Kebumen (Jawa Tengah
Selatan), Yon 426 di Kudus (Jawa Tengah), Daud Beureuh di Aceh dan Kahar
Muzakkar di Sulawesi.
Pada pasca-1965 yang naik dalam
tangga sosial adalah kaum bangsawan lebih dulu, bukan kaum santri. Apa sebab ?
Pada tahun 1950-an yang dikenal dengan masa Demokrasi Liberal itu kaum santri
sibuk berpolitik dalam berbagai parpol Islam. Pertanyaannya ialah bukankah kaum
abagan dan kaum santri sama-sama sibuk berpolitik, kok yang mengalami mobilitas
social vertikal pasca-1965 hanya kaum abangan ? Jawabannya ialah karena kaum
abangan tidak mempunyai tanggung jawab sosial dalam penyebaran agama, sehingga
dana, perhatian dan tenaga dapat dicurahkan untuk pembinaan SDM-nya. Mereka
dapat mengantarkan warganya untuk menjadi elite dalam berbagai bidang, seperti
birokrasi, profesi, militer, intelektual dan eksekutif.
Pada
1970-1990 kaum santri mengalami marginalisasi. Ternyata, marginalisasi itu suatu blessing in disguise (rahmat
tersembunyi) karena dalam keadaan itulah kaum santri dapat membina SDM-nya
setelah terbebas dari beban politik. Dominasi dalam lembaga-lembaga legislatif
dan eksekutif sesudah 1992 menimbulkan istilah “ijo royo-royo”. Demikian pula ada dominasi kaum
santri dalam dunia profesi, budaya dan akademi pada 1990-an. Mobilitas sosial vertikal itu akan terhenti kalau
kaum santri kembali berpolitik. Akibatnya, baru terasa di tahun 2020-an nanti,
justru pada waktu itu Indonesia memasuki liberalisasi penuh. Kaum santri akan
menjadi “gelandangan di rumah seindiri” kembali (istilah Emha Ainun Nadjib).
2. Disintegrasi Umat
Pada tahun 1970-1990 telah
tejadi tiga macam konvergensi. Konvergensi sosial antara wong cilik dan priayi, konvergensi budaya
antara abangan dan santri, serta konvergensi aliran agama antara tradisionalis,
modernis dan puritan. Konvergensi sosial telah melahirkan kelas baru yaitu
kelas menengah.
Para
pengamat mengatakan bahwa lahirnya kelas menengah inilah yang mendasari adanya
ICMI. Seseorang yang semasa mahasiswa di akhir 1960-an dan di awal 1970-an
adalah anggota GMNI (per definisi adalah perkumpulan kaum abangan) pada tahun
1990-an banyak yang Islamnya melebihi anggota HMI dan PMII (yang perdefinisi
adalah perkumpulan santri). Proses perbubahan budaya itu pasti terjadi pada
tahu-tahun 1970-1990 ketika Islam secara politis tenggelam dan secara budaya
mencair. Pada tahun 1970-1990 juga terjadi hubungan yang akrab antara NU dan
Muhammadiyah. Dalam kepengurusan ICMI, baik di tingkat pusat maupun orwil,
maupun orsat sudah tidak diperhitungkan lagi aliran-aliran agama. Gagasan untuk rekonsiliasi antara NU dan
Muhammadiyah pun sudah terpikirkan.
Akan tetapi konvergensi
itu akan berakhir kalau parpol-parpol Islam muncul. Aliran-aliran agama yang
semula telah cair akan mengkristal lagi; orang NU akan memilih Partai
Kebangkitan Umat dan orang Muhammadiyah akan memilih “Partai Muhammadiyah”.
Munculnya parpol Islam akan membuat orang yang telah mengalami konvergensi
budaya mengalami frustasi.
Kalau
dulu orang dapat memilih PPP, Golkar atau PDI tanpa beban moral, nanti lain
soalnya. Masing-masing parpol Islam akan harus mencari indentitas politiknya,
sehingga perbedaanlah dan bukan persamaan yang menonjol. Identitas yang berbeda
akan menguasai, parpol Islam akan menganut ideocracy (dari bahasa Yunani Iidios
[ciri khas] dan kratein [menguasai]). Demikianlah akan
terjadi disintegrasi umat.
3. Umat Menjadi Miopis
Politik
hanya memikirkan masalah-masalah yang berjangka pendek. Kita sungguh takut
bahwa dengan berpolitik umat menjadi miopis, hanya mampu melihat realitas
realitas yang dekat. Orientasi
bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal, ternyata hanya benar dalam
jangka pendek. Misalnya,
“kemenangan” islam untuk menyatukan pesantren dengan sistem pendidikan
nasional, dapatnya para santri bersekolah umum ternyata hanya baik di
permukaan. Di bawah perbukaan “kemenangan” itu menimbulkan ketergantungan umat
pada negara, cita-cita pemuda Islam jadi PNS, hilangnya semangat wiraswasta
pada umat.
Bahwa kekuasaan tidak menjamin
penyebaran agama, terbukti dalam banyak kasus. Kekuasaan Islam di Spanyol yang
tujuh abad (VIII-XV) itu tidak ada bekasnya, kalau tidak ada arsitektur,
filsafat, iptek dan kusesastraan. Demikian pula kekuasaan Islam di India yang
tujuh abad (XII-XIX). Dengan kekuasaannya, raja-raja Kesultanan Delhi tidak
bisa meng-Islam-kan orang-orang India bahkan di dekat pintu gerbang istananya.
Sejarah Indonesia menunjukkan
bahwa para wali yang berhasil meng-Islam-kan pedalaman Jawa, bukan raja-raja.
Pemerintahan Hindia-Belanda sendiri konon menguasai Indonesia selama 350 tahun
tidak berhasil meng-Kristen-kan orang-orang Indonesia. Dan berapa persen orang
Timor-timor menjadi Islam sejak integrasi ? Integrasi ternyata lebih
menguntungkan misi Katholik dari pada Islam, lebih sebagai Katholikisasi bukan
Islamisasi. Memang, tujuan politik adalah kekuasan bukan agama, kekuasaan itu netral sampai negatif. Agama harus di lihat dari perspektif
jangka panjangnya, paling tidak perspektif jangka menengah, bukan perspektif
jangka pendek.
4. Pemiskinan
Agama itu mula-mula seperti
sinar tunggal yang memancar, tetapi dalam masyarakat ia mampu mengurai menjadi
banyak sinar; dakwah, kehidupan sosial, kebudayaan, sistem pengetahuan, iptek,
filsafat, mitos, politik, ke-SDM-an, mentalitas dan sebagainya. Mendirikan
parpol Islam akan berarti membunuh potensi-potensi itu untuk berkembang. Umat
akan bergerak seperti kuda kereta yang ditutup matanya supaya tidak menoleh
kanan-kiri.
Kekayaan
agama menjadi miskin kalau putra-putra terbaik umat dijuruskan hanya ke politik. Karena politik itu relatif gampang, rumusnya
retorika, demagogi dan mobilisasi massa. Hasilnya pun tampak menonjol di
permukaan: Sekian orang dalam lembaga eksekutif. Tidak memerlukan kreativitas
pribadi yang luar biasa, tidak perlu pribadi yang suka bekerja dalam sepi.
Padalah, dalam keadaan sekarang yang relatif baik saja kita sebenarnya
kekurangan orang yang sanggup bekerja sendirian. Misalnya, untuk berbicara di
depan forum ilmiah tentang filsafat, kita harus mencari ke STF Driyarkara.
Bukan karena kita besar jiwa, tetapi memang karena kekurangan SDM meski ada
penjelasannya. Harus diakui bahwa di antara penduduk Indonesia yang lebih dari
202 juta umat itu kekurangan dalam banyak hal. Rasanya, menambah beban sosial
umat dengan politik adalah sebuah dosa sejarah. Patut dipertanyakan tanggung
jawab sejarah politik umat.
5. Runtuhnya
Proliferasi
Dengan
depolitisasi sejak tahun 1970-an telah terjadi proliferasi (penyebaran)
kepemimpinan umat. Sebelumnya umat hanya mengenal tokoh politik sebagai tokoh
yang sebenarnya. Di kalangan modernis nama Mohammad Natsir dan di kalangan
tradisionalis mungkin nama Idham Chalid. Kalau dibuat peta jaringan-sosial,
nama-nama itulah yang menjadi pusatnya, the tokoh. Dengan proliferasi ada
banyak nama yang menjadi pusat dalam jarring-jaring sosial, sehingga tokoh
menyebar ke beberapa arah, bukan hanya ke arah tokoh politik (tokoh politik
hanya a tokoh).
Proliferasi
telah menjadikan pengusaha, birokrat, ilmuan, seniman, ulama dan sebagainya
sebagai tokoh umat.Nanti kalau ditengah-tengah umat muncul parpol, pastilah
tokoh politik yang ahli dalam mobilisasi massa kembali jadi satu-satunya tokoh
umat. Dengan adanya parpol akan hilang gambaran bahwa tokoh umat itu bisa jadi
para usahawan, seniman atau intelektual. Proliferasi
yang selama ini telah terbentuk akan buyar. Penghargaan tertinggi umat nanti
ialah pada tokoh politik, melupakan kemungkinan bahwa tokoh itu bisa datang
dari berbagia bidang.
6. Alienasi Generasi Muda
Pembentukan parpol akan
berarti mengingkari bahwa telah terjadi perubahan sosial di kalangan umat. Umat
yang mempunyai aspirasi mendirikan parpol Islam, baik yang disampaikan kepada
NU, DDII, maupun Muhammadiyah mestilah mereka yang berumur rata-rata 50 tahun,
yang mengalami sengitnya persaingan antar-aliran agama. Tetapi orang lupa bahwa
ada banyak hal sudah berubah selama ini, yaitu lahirnya generasi baru yang
non-sektarian.
Generasi
non-sektarian itu disebabkan oleh adanya mobilitas geografis dan generasi
mengambang. Mobilitas geografis menyebabkan orang tercabut dari akarnya,
sehingga kehilangan reference
group (kelompok
rujukannya). Misalnya, mereka yang terpaksa berpindah-pindah karena pendidikan,
pekerjaan dan kedinasan. Tidak bisa diharapkan tidak luntur ke-NU-annya atau
ke-Muhammadiyahan-nya mereka yang sudah berpindah-pindah tempat, dan
menyaksikan keanekaragaman dalam beragama. Generasi mengambang terjadi ketika
orang tidak menghayati lagi aliran-aliran keagamaan, sehingga aliran apa saja
boleh asal Islam. Mereka yang tumbuh dari PII, HMI, sekolah-sekolah umum, dan
jamaah-jamaah kampus adalah generasi mengambang. Generasi muda non-sekatarian
ini pasti di luar pertimbangan mereka yang mendirikan parpol-parpol Islam.
Kesimpulan
Umat perlu diberi penjelasan yang jernih
untuk mencegah supaya musim semi kebebasan betul-betul membawa rahmat, kemajuan
dan masa depan yang lebih baik. Kekuasaan itu syahwat. Kata Sayidina ‘Ali, syahwat itu itu
seperti ular, halus dijamahnya tetapi berbisa. Fa aina tadzhabuun ? Umat masih punya harapan,
meskipun para politisinya sendiri jelas akan melukai. Harapan itu adalah
intelektual, budayawan, professional, mahasiswa dan para aktivis LSM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar