Disaat media gencar membicarakan soal aksi massa yang akan dilasanakan pada 2 desember, aku masih saja berkutat pada pikiran tentang diriku sendiri. egois?, memang, tapi harus kuselesaikan ini. diluar sana banyak umat yang dengan semangat membara akan datang ke Jakarta, bergabung dalam barisan. Memenuhi panggilan jihad. Beberapa teman pun berencana ikut, beberapa juga ingin turut serta tapi banyak hal yang menghambat. Satu hal yang masih aku percaya. Tidak masalah aku tidak turut serta dalam aksi yang kemudian disepakati sebagai kegiatan istighosah dan doa bersama untuk negeri itu, dengan alasan bahwa jihadku saat ini adalah menuntut ilmu. Meskipun itu seolah sebagai pembenaran, tapi menuntut ilmu memang senyatanya adalah bagian dari jihad.
Aku hanya tertarik pada berbagai analisis yang dilontarkan oleh para
dosen yang mengajar dikelas. Berbagai sudut pandang disajikan dari beberapa
dosen. Dan itu bagiku lebih bermutu daripada mereka-mereka yang menghadirkan
analisis di layarkaca dengan diintervesi kepentingan media untuk mengarahkan
opini publik. Meninabobokan publik dengan analisis yang dianggap oleh seorang
dosen hanya “kulit” dari persoalan yang terjadi.
Sedikit tidak hirau dari persoalan diatas, pikiranku saat ini masih
berkutat pada skripsi, manchester university, dan “ukhti”. Hahaha. Luar biasa
saya kira. Visioner. Skripsiku masih belum juga mulai kujemput dari sang
pemilik segalanya. Sudah kucoba membaca skripsi yang tersedia di perpustakaan,
pun buku-buku yang bertebaran di perpustakaan. Belum juga kutemui titik terang.
Tapi bagiku ini adalah sebuah langkah radikal, aku sudah menghibahkan diriku
untuk setia mendatangi gedung yang dipenuhi buku-buku itu. tinggal tunggu waktu
saja kapan Tuhan akan mengilhamkan sebuah ide untuk kugarap.
Sering aku mengawang-awang, bagaimana bisa nanti aku melanjutkan kuliah
ke inggris, universitas manchester. Aku bukan mahasiswa yang berpikiran kritis,
aku bukan mahasiswa aktivis, aku bukan mahasiswa yang pandai berdebat kritis,
aku bukan mahasiswa yang mampu menulis dengan berbagai analisis. Aku hanya
mahasiswa cupu. Yah, itulah realitasnya. Luar biasa tragis saya kira bung.
Kalau dibanding dengan mahasiswa lain yang super dan hebat-hebat, aku bagaikan
buih dilautan yang hanya bisa terombang-ambing pasrah menerima terjangan ombak
dan kemudian terbawa arus. Tapi sudah lah, aku masih punya Allah, yang punya
semuanya, yang mengikrarkan diri-Nya sebagai Raja. Dia bilang kalau mau segala
sesuatu, mintalah, nanti Aku kabulkan. Oke, aku percaya itu. aku percaya Dia
lah yang memiliki segalanya, Dialah Raja. Tugasku hanya minta pada-Nya, bukan
pada yang lain. tentu sembari ikhtiar, minimal belajar lah dan
persiapan-persiapan lain. biar nanti ketika datang waktunya aku tinggal
berangkat saja. Biar Allah yang mengatur. Logikaku, atau logika manusia pada
umumnya, tidak akan sampai, pasti mentok. Biar Dia yang mengatur skenarionya.
Satu lagi yang selalu menyesaki dan telah mengambil ruang di salah satu
sudut pikiran, dia, yang anggun, yang bersahja, yang teduh-meneduhkan. Sering
aku berpikir bagaimana caranya nanti aku bisa dipertemukan kembali dengan dia
dalam kondisi kami sebagai insan yang telah matang dan siap mengarungi masa
depan. Banyak formasi dan skema yang kupikirkan. Tapi ya itulah, namanya juga
manusia. sering menemui jalan buntu. Sama seperti soal universitas manchester
tadi. Dan kembali lagi jawabannya adalah cukup minta saja pada Allah, pemilik
segalanya, yang mengikrarkan diri sebagai Raja semesta. Cukup. Itu saja. Kadang
juga terpikirkan soal bagaimana kondisi dia saat ini, keadaan dia saat ini,
apakah dia baik-baik saja di sudut dunia sana. Tapi sudahlah, biar sekarang itu
menjadi urusan Allah, biar Allah yang menjaganya. Aku percaya pada Allah. Nanti
pasti akan datang saat dimana dirinya juga menjadi urusanku.
Cukuplah ceramah para dosen menjadi salah satu pisau analisis atas
kegaduhan politik saat ini. Cukuplah ceramah KH Yusuf Mansur tentang keyakinan
pada Allah, menjadi pemantik ledakan semangat saat dan kegaduhan pikiran
tentang skripsi, manchester university, dan ukhti, yang mengusik hari-hari di
penghujung status sebagai mahasiswa di kampus yang katanya salah satu terbaik
di Indonesia, tapi memang benar yang terbaik. Aku hanya bisa berjalan, ikhtiar,
dan berdoa meminta pada sang Raja. Pasti ada jalannya, tak perlu dipikirkan
bagaimana sang Raja mengatur skenarionya, cukup ikhtiar dan doa. Cukup. Itu
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar