“Banyak
orang yang tahu, tapi hanya sedikit yang paham. Banyak orang yang paham, tapi
hanya sedikit yang mau bergerak. Banyak orang yang mau bergerak, tapi hanya
sedikit yang mau menggerakkan. Banyak orang yang mau menggerakkan, tapi hanya
sedikit yang bekerja demi pengabdian”
Ungkapan
diatas adalah hal yang dapat saya refleksikan dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat atau KKN PPM UGM unit
JTG-09 yang saya ikuti pada bulan Juni-Agustus 2016 lalu, tepatnya di dusun
Pandansari, desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah. Selain melaksanakan
pembelajaran dan pemberdayaan bersama masyarakat, ternyata saya dan teman-teman
tim KKN disuguhkan dengan geliat pembangunan yang sedang digencarkan oleh
mereka yang memiliki kepedulian untuk mengabdi tanpa menunggu uluran tangan
pemerintah. Sebagai sebuah desa yang tereletak di pesisir pantai utara Jawa,
desa Kaliwlingi khususnya dusun Pandansari menghadapi persoalan degradasi
kualitas lingkungan. Tahun 1980-an dusun Pandansari adalah dusun yang asri
dengan hamparan tanaman mangrove di pesisir Pandansari yang menambah hijau
kawasan ini. Pada tahun 1990an, Tingginya harga udang windu membuat masyarakat
berpikir untuk membudidayakan udang windu yang pada akhirnya mengorbankan
hamparan mangrove di wilayah pesisir menjadi petakan-petakan tambak udang.
Keberhasilan
dirasakan oleh masyarakat dengan banyaknya hasil tambak yang diekspor ke
Jepang. Namun kondisi ini hanya bertahan dari tahun 1987-1997. Runtuhnya harga
udang windu dari Rp.40 ribu per kilogram menjadi Rp 6 ribu per kilogram membuat
perekonomian warga menjadi terhimpit. Ditambah lagi tanaman mangrove yang pada
awalnya dapat menghambat terjangan pasang air laut ke darat kini telah habis
diganti dengan tambak-tambak warga. Saat pasang, air laut masuk ke tambak dan
pemukiman. Akibatnya, ratusan hektar tambak rusak dan tenggelam. Abrasi yang menggerus daratan pantai dukuh Pandansari desa
Kaliwlingi sejak tahun 1985–2010 berkisar 850 Ha. Jarak perumahan warga
yang dulunya 4 km dari bibir pantai menjadi hanya 500m. Ancaman gelombang ari
laut dan rob semakin menghantui warga dusun Pandansari, 5 hingga 6 kali dalam
setahun. Efek domino bagi masyarakat berupa
hilangnya mata pencaharian, pengangguran, kemiskinan, urbanisasi, bahkan banyak
pemuda yang memutuskan untuk menjadi TKI di luar negeri.
Kondisi
lingkungan yang telah memprihatinkan dan membawa efek domino ini kemudian
menggugah hati seorang tokoh bernama Bapak Mashadi untuk bergerak menyelamatkan
lingkungan pesisir yang telah terkena dampak abrasi. Satu upaya yang dilakukan
adalah membakar semangat warga dusun pandansari untuk mau bergerak
menyelamatkan lingkungan yang telah rusak. Salah satu cara pandang yang
dipegang oleh pak Mashadi adalah perlu ada yang mau mengompori warga untuk
bergerak. Maka ia putuskan untuk bergerak dari bawah, bergerak dari akar
rumput, untuk memulai sebuah perubahan bagi kondisi lingkungan yang lebih baik
dan tentu dibarengi dengan perubahan kondisi perekonomian masyarakat yang lebih
baik pula.
Pada
tahun 2006, dibentuklah Paguyuban
Mekarsari yang diprakarsai oleh Bapak Mashadi dan seorang tokoh masyarakat
bernama Bapak Rusjan atau biasa disapa pak Manten (sebutan ini diperoleh karena
beliau adalah mantan kepala desa Kaliwlingi). Mulailah merencanakan untuk melakukan konservasi Mangrove secara
besar-besaran dan juga menjadikannya sebagai kawasan ekowisata Mangrove di
dukuh ini. Apa saja upaya yang telah lakukan?
Mulai dari kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pengelolaan wilayah pesisir,
pemberdayaan masyarakat pesisir dan penguatan kelembagaan kelompok, kampanye
penyadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, pembelajaran
dan pendidikan lingkungan bagi pelajar dan perlindungan Kawasan hutan mangrove.
Selain itu, berhasil menanam 2.260.000
batang mangrove seluas 200 hektare, dan saat ini sedang mengejar target untuk
sampai pada angka 3 juta batang mangrove. Semua kegiatan diatas selain sebagai
upaya penyelamatan lingkungan, juga sebagai upaya pemberdayaan masyarakat lokal
dan pemanfaatan potensi lokal. Dari upaya yang telah dilakukan, terdapat proses
empowerment yang membuat masyarakat
ikut merasa dilibatkan dalam upaya penyelamatan lingkungan dan upaya
meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Karena aspek pelibatan masyarakat merupakan
hal terpenting dalam proses pemberdayaan.
Penanaman bibit mangrove bersama tim KKN PPM UGM |
Manfaat yang didapat dari penyelamatan wilayah pesisir dengan penanaman
mangrove berdampak positif pada terjaganya wilayah pesisir dari abrasi yang
selalu mengancam sebagian wilayah budidaya perikanan. Terbentuknya sabuk hijau
pantai di sebagian wilayah pesisir Kabupaten Brebes. Meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya menjaga ekosistem pesisir, dampak global
warming, dan perubahan iklim. Pemanfaatan potensi lokal yang terabaikan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat pesisir. Area tambak dapat di rehabilitasi untuk
kemudian dijadikan mata pencaharian masyarakat nelayan dan petani sawah.
Peningkatan jumlah tangkapan, jarak dan waktu tangkapan nelayan juga makin
dekat dan cepat. Dari semua itu juga banyak membantu pemerintah untuk
memberdayakan masyarakat serta menyadarkan pentingnya menjaga lingkungan hidup
yang mereka tempati.
Pengembangan lebih
lanjut kawasan konservasi mangrove
Kawasan konservasi yang pada awalnya digagas
untuk menyelamatkan lingkungan kemudian mulai dikembangkan lagi untuk dijadikan
objek wisata, tentu dengan tidak meninggalkan tujuan utamanya yakni memperbaiki
kualitas lingkungan hidup. Kawasan
wisata Mangrove ini terbilang masih baru dan sedang dalam proses pegerjaan yang
dimulai dari bulan Juni 2016 dan ditargetkan selesai pada Desember 2016. Dana
yang dikucurkan untuk proyek ini pun cukup besar hampir menyentuh angka 2
miliar rupiah, dengan pendanaan dari pemerintah kabupaten Brebes. Pembangunan
tracking mangrove merupakan fasilitas utama yang sedang dibangun dengan target
panjang mencapai 1 kilometer. Selain itu juga akan dibangun mushola dan tempat
peristirahatan di sekitaran kawasan tracking. Meskipun pembangunan kawasan
wisata mangrove ini sedang berlangsung, sudah banyak wisatawan yang berdatangan
untuk melihat kawasan konservasi mangrove ini. Ketika masa libur lebaran Idul
fitri tahun ini total pengunjung mencapai angka 800 orang perharinya. Untuk
hari-hari biasa angka pengunjung memang hanya dikisaran 40-50 orang, dan
sekitar 100-200 orang diakhir pekan. Tentu ini angka yang cukup besar untuk
kawasan wisata yang baru saja dirintis bahkan sedang dalam proses pembangunan.
Kita tentu perlu optimis bahwa angka ini akan terus bertambah ketika
pembangunan kawasan wisata ini rampung dikerjakan.
Para penggiat lingkungan ini juga mendirikan
Sekolah alam MHRC (Martani Hadi Research Center), sebuah sekolah untuk
memperdalam ilmu mengenai kekayaan kelautan, budidayanya serta pengolahannya.
Konsep yang dibawa adalah sekolah dengan konsep informal, pembelajaran
dilaksanakan dengan langsung turun ke lapangan untuk melakukan praktik. Jika
pada sekolah formal siswa ataupun mahasiswa diberikan dan dikenalkan dengan setumpuk
teori, maka di sekolah alam inilah tempat untuk pengaplikasian teori-teori yang
diajarkan di sekolah formal. Siapapun bisa ikut serta menjadi siswa di sekolah
ini. Siapapun yang datang, bisa langsung terjun untuk mendapatkan ilmu praktik
lapangan di bidang perairan. Peserta diklat akan dikenalkan dan diberikan
pelajaran yang bersifat praktikal mengenai berbagai macam budidya seperti
kepiting soka, udang, sidat, bandeng, kerang, dll. Kami para mahasiswa KKN PPM
UGM yang sedang menjalankan program selama dua bulan pun juga menjadi siswa
dari sekolah alam ini. Sembari melaksanakan kegiatan pemberdayaan kepada
masyarakat, juga mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat.
Salah
satu pelajaran berharga dari semua proses ini adalah statement pak Mashadi; “disini tidak ada yang namanya Super-Man,
yang ada adalah Super-Tim”, dari situ kita dapat belajar bahwa untuk
melakukan sebuah perubahan dengan berbagai inovasi, peran, dan kerjasama tiap
individu dalam sebuah kelompok sangat dikedepankan. Meskipun ada tokoh
penggerak yang memiliki peran sentral, namun kerjasama tim menjadi penentu
keberhasilan sebuah kelompok untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.
Atas konsistensinya bergerak di lingkungan
sejak Tahun 2005 samapi sekarang, mampu melakukan kreativitas dan inovasi
kegiatan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam lokal, sumber daya
manusia di sekitar lokasi kegiatan, serta komunitas masyarakat lainnya, pak
Mashadi akhirnya menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 2015. Kemampuan untuk berkolaborasi dengan segenap elemen masyarakat
dari berbagai kalangan dalam mengerakan kegiatannya seperti, pemerintah,
kelompok basis, LSM Nasional maupun Internasional, Perguruan Tinggi, Pelajar,
Masyarakat Seniman dan budayawan sekitar lokasi kegiatan. Juga menggerakan
kegiatan ekonomi masyarakat lokal dalam kegiatan rehabilitasi Mangrove.
Bagi pak Mashadi, perjuangannya belum berakhir, meski telah
menerima penghargaan Kalpataru, tujuan akhir yang ingin dicapainya adalah
mengubah hidup masyarakat pesisir Brebes lebih baik. Ke depan, ia berkeinginan
Dukuh Pandansari yang menjadi tempat pengabdiannya itu menjadi kampung wisata
mangrove yang melingkupi wisata edukasi, penelitian, ekologi, dan akuakultur,
dengan mengutamakan kearifan lokal dan budaya setempat. Dan tujuan itu mulai
mengarah pada kenyataan dengan adanya wisata mangrove dan sekolah alam yang
telah dibangun. Sedikit demi sedikit, secara perlahan, mimpi itu akan mulai
terwujud.
Lalu bagaimanakah
peran pemerintah?
Ya, ini menjadi pertanyaan dan tantangan bagi pemerintah. Upaya
penyelamatan wilayah pesisir di kabupaten Brebes terutama di dusun Pandansari
ini banyak dilakukan secara mandiri oleh masyarkat yang bergerak bersama-sama
dalam paguyuban Mekarsari. Kerjasama banyak dilakukan malah dengan pihak-pihak
non-pemerintahan. CSR perusahaanlah yang banyak berdatangan untuk ikut membantu
upaya penyelamatan lingkungan ini. Beberapa diantaranya adalah perusahaan besar asal Jepang yakni Toshiba dan
Tokiomarine Asuransi, selain itu juga ada Organization for Industrial Spiritual
& Cultural Advencement (OISCA) yang turut serta membantu upaya masyarakat
untuk menyelamatkan lingkungan dan menjadikan dusun Pandansari sebagai kawasan
konservasi mangrove. Pemerintah memang menjadi fasilitator bagi perusahaan dan
lembaga yang ingin turut serta dalam pembangunan, namun harusnya pemerintah
juga dapat lebih ikut turun tangan secara langsung dalam upaya yang telah
dilaksanakan oleh masyarakat.
Proyek pembangunan tracking mangrove yang didanai oleh Pemkab Brebes |
Pemerintah
Daerah maupun Pemerintah Pusat melalui Kementrian Lingkungan Hidup memang telah
memberikan sokongan pada masyarakat untuk upaya penyelamatan lingkungan di
dusun Pandansari ini. Pemkab Brebes melalui Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda
dan Olahraga telah menggelontorkan dana 1,971 miliar untuk pembangunan tracking mangrove. Selain itu beberapa
kapal penyeberangan yang digunakan untuk menuju wisata mangrove juga dibeli
dengan dana dari Kementerian Lingkungan Hidup. Program lain dari Direktorat Pesisir dan Laut dibawah Kementerian Lingkungan Hidup berupa
program kegiatan
rehabilitasi pesisir, rehabillitasi pesisir utara jawa, pembangunan hybrid engineering, dan rehabilitasi
sumber daya hayati. Semuanya didanai dari APBN pusat.
Perlu
menjadi catatan adalah, bahwa pemerintah baru mau turun tangan setelah
masyarakat membangun dengan susah payah dari awal. Setelah mulai tampak sebuah
tanda-tanda keberhasilan, pemerintah baru mulai melirik upaya yang telah dilakukan
oleh masyarakat. Masyarakat yang mulai membangun dan menyelamatkan lingkungan
sejak tahun 2006-an, baru beberapa tahun belakangan mendapat perhatian serius
dari pemerintah. Tentu ini harus menjadi bahan refleksi bagi pemerintah.
Harusnya pemerintah mengawal dan memberikan dukungan sejak awal ketika masyarakat
mulai bergerak. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan kapasitas yang dapat
berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat untuk bisa berdaya dalam upaya
penyelamatan lingkungan. Pada sisi yang lebih konkrit lagi pemberian bantuan
materil secara fisik. Sehingga masyarkat benar-benar dapat merasakan kehadiran
negara yang harusnya memberikan pelayanan dan pemberdayaan.
Agaknya kita belajar bahwa orang-orang yang mau
bergerak untuk pengabdianlah yang mampu menggugah pemerintah untuk mau melirik
persoalan yang kadang tidak dijadikan priorotas dalam pembangunan.
“Yang saya lakukan semata-mata untuk menyelamatkan bumi
tempat kita hidup” (Mashadi)
Tulisan ini terinspirasi dari
pelaksanaan program KKN PPM UGM 2016 unit JTG-09 Desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah.
Referensi :
Rhonda
Phillips, Robert H. Pittman, An Introduction to Community Development, Routledge, 2009
Warta KEHATI, edisi November 2012 –
Januari 2013
http://jatengprov.go.id/id/newsroom/mashadi-peraih-kalpataru-2015
http://brebesnews.co/2014/10/tahun-2015-sawojajar-dan-kaliwlingi-jadi-tempat-wisata-mangrove/
sumber video : https://www.youtube.com/watch?v=BNdpUZuIWJk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar