Breaking News

Minggu, 06 November 2016

Membangung Dari Bawah : Penyelamatan Wilayah Pesisir Utara Jawa Dengan Konservasi Mangrove

“Banyak orang yang tahu, tapi hanya sedikit yang paham. Banyak orang yang paham, tapi hanya sedikit yang mau bergerak. Banyak orang yang mau bergerak, tapi hanya sedikit yang mau menggerakkan. Banyak orang yang mau menggerakkan, tapi hanya sedikit yang bekerja demi pengabdian”

Ungkapan diatas adalah hal yang dapat saya refleksikan dari kegiatan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat atau KKN PPM UGM unit JTG-09 yang saya ikuti pada bulan Juni-Agustus 2016 lalu, tepatnya di dusun Pandansari, desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah. Selain melaksanakan pembelajaran dan pemberdayaan bersama masyarakat, ternyata saya dan teman-teman tim KKN disuguhkan dengan geliat pembangunan yang sedang digencarkan oleh mereka yang memiliki kepedulian untuk mengabdi tanpa menunggu uluran tangan pemerintah. Sebagai sebuah desa yang tereletak di pesisir pantai utara Jawa, desa Kaliwlingi khususnya dusun Pandansari menghadapi persoalan degradasi kualitas lingkungan. Tahun 1980-an dusun Pandansari adalah dusun yang asri dengan hamparan tanaman mangrove di pesisir Pandansari yang menambah hijau kawasan ini. Pada tahun 1990an, Tingginya harga udang windu membuat masyarakat berpikir untuk membudidayakan udang windu yang pada akhirnya mengorbankan hamparan mangrove di wilayah pesisir menjadi petakan-petakan tambak udang.    

Keberhasilan dirasakan oleh masyarakat dengan banyaknya hasil tambak yang diekspor ke Jepang. Namun kondisi ini hanya bertahan dari tahun 1987-1997. Runtuhnya harga udang windu dari Rp.40 ribu per kilogram menjadi Rp 6 ribu per kilogram membuat perekonomian warga menjadi terhimpit. Ditambah lagi tanaman mangrove yang pada awalnya dapat menghambat terjangan pasang air laut ke darat kini telah habis diganti dengan tambak-tambak warga. Saat pasang, air laut masuk ke tambak dan pemukiman. Akibatnya, ratusan hektar tambak rusak dan tenggelam. Abrasi yang menggerus daratan pantai dukuh Pandansari desa Kaliwlingi sejak tahun 1985–2010 berkisar 850 Ha. Jarak perumahan warga yang dulunya 4 km dari bibir pantai menjadi hanya 500m. Ancaman gelombang ari laut dan rob semakin menghantui warga dusun Pandansari, 5 hingga 6 kali dalam setahun. Efek domino bagi masyarakat berupa hilangnya mata pencaharian, pengangguran, kemiskinan, urbanisasi, bahkan banyak pemuda yang memutuskan untuk menjadi TKI di luar negeri.

Kondisi lingkungan yang telah memprihatinkan dan membawa efek domino ini kemudian menggugah hati seorang tokoh bernama Bapak Mashadi untuk bergerak menyelamatkan lingkungan pesisir yang telah terkena dampak abrasi. Satu upaya yang dilakukan adalah membakar semangat warga dusun pandansari untuk mau bergerak menyelamatkan lingkungan yang telah rusak. Salah satu cara pandang yang dipegang oleh pak Mashadi adalah perlu ada yang mau mengompori warga untuk bergerak. Maka ia putuskan untuk bergerak dari bawah, bergerak dari akar rumput, untuk memulai sebuah perubahan bagi kondisi lingkungan yang lebih baik dan tentu dibarengi dengan perubahan kondisi perekonomian masyarakat yang lebih baik pula.

Pada tahun 2006, dibentuklah  Paguyuban Mekarsari yang diprakarsai oleh Bapak Mashadi dan seorang tokoh masyarakat bernama Bapak Rusjan atau biasa disapa pak Manten (sebutan ini diperoleh karena beliau adalah mantan kepala desa Kaliwlingi). Mulailah merencanakan untuk melakukan konservasi Mangrove secara besar-besaran dan juga menjadikannya sebagai kawasan ekowisata Mangrove di dukuh ini. Apa saja upaya yang telah lakukan? Mulai dari kegiatan rehabilitasi hutan mangrove, pengelolaan wilayah pesisir, pemberdayaan masyarakat pesisir dan penguatan kelembagaan kelompok, kampanye penyadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup, pembelajaran dan pendidikan lingkungan bagi pelajar dan perlindungan Kawasan hutan mangrove. Selain itu,  berhasil menanam 2.260.000 batang mangrove seluas 200 hektare, dan saat ini sedang mengejar target untuk sampai pada angka 3 juta batang mangrove. Semua kegiatan diatas selain sebagai upaya penyelamatan lingkungan, juga sebagai upaya pemberdayaan masyarakat lokal dan pemanfaatan potensi lokal. Dari upaya yang telah dilakukan, terdapat proses empowerment yang membuat masyarakat ikut merasa dilibatkan dalam upaya penyelamatan lingkungan dan upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Karena aspek pelibatan masyarakat merupakan hal terpenting dalam proses pemberdayaan.
Penanaman bibit mangrove bersama tim KKN PPM UGM



Manfaat yang didapat dari penyelamatan wilayah pesisir dengan penanaman mangrove berdampak positif pada terjaganya wilayah pesisir dari abrasi yang selalu mengancam sebagian wilayah budidaya perikanan. Terbentuknya sabuk hijau pantai di sebagian wilayah pesisir Kabupaten Brebes. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga ekosistem pesisir, dampak global warming, dan perubahan iklim. Pemanfaatan potensi lokal yang terabaikan untuk peningkatan ekonomi masyarakat pesisir. Area tambak dapat di rehabilitasi untuk kemudian dijadikan mata pencaharian masyarakat nelayan dan petani sawah. Peningkatan jumlah tangkapan, jarak dan waktu tangkapan nelayan juga makin dekat dan cepat. Dari semua itu juga banyak membantu pemerintah untuk memberdayakan masyarakat serta menyadarkan pentingnya menjaga lingkungan hidup yang mereka tempati.

Pengembangan lebih lanjut kawasan konservasi mangrove

Kawasan konservasi yang pada awalnya digagas untuk menyelamatkan lingkungan kemudian mulai dikembangkan lagi untuk dijadikan objek wisata, tentu dengan tidak meninggalkan tujuan utamanya yakni memperbaiki kualitas lingkungan hidup.  Kawasan wisata Mangrove ini terbilang masih baru dan sedang dalam proses pegerjaan yang dimulai dari bulan Juni 2016 dan ditargetkan selesai pada Desember 2016. Dana yang dikucurkan untuk proyek ini pun cukup besar hampir menyentuh angka 2 miliar rupiah, dengan pendanaan dari pemerintah kabupaten Brebes. Pembangunan tracking mangrove merupakan fasilitas utama yang sedang dibangun dengan target panjang mencapai 1 kilometer. Selain itu juga akan dibangun mushola dan tempat peristirahatan di sekitaran kawasan tracking. Meskipun pembangunan kawasan wisata mangrove ini sedang berlangsung, sudah banyak wisatawan yang berdatangan untuk melihat kawasan konservasi mangrove ini. Ketika masa libur lebaran Idul fitri tahun ini total pengunjung mencapai angka 800 orang perharinya. Untuk hari-hari biasa angka pengunjung memang hanya dikisaran 40-50 orang, dan sekitar 100-200 orang diakhir pekan. Tentu ini angka yang cukup besar untuk kawasan wisata yang baru saja dirintis bahkan sedang dalam proses pembangunan. Kita tentu perlu optimis bahwa angka ini akan terus bertambah ketika pembangunan kawasan wisata ini rampung dikerjakan.     


Para penggiat lingkungan ini juga mendirikan Sekolah alam MHRC (Martani Hadi Research Center), sebuah sekolah untuk memperdalam ilmu mengenai kekayaan kelautan, budidayanya serta pengolahannya. Konsep yang dibawa adalah sekolah dengan konsep informal, pembelajaran dilaksanakan dengan langsung turun ke lapangan untuk melakukan praktik. Jika pada sekolah formal siswa ataupun mahasiswa diberikan dan dikenalkan dengan setumpuk teori, maka di sekolah alam inilah tempat untuk pengaplikasian teori-teori yang diajarkan di sekolah formal. Siapapun bisa ikut serta menjadi siswa di sekolah ini. Siapapun yang datang, bisa langsung terjun untuk mendapatkan ilmu praktik lapangan di bidang perairan. Peserta diklat akan dikenalkan dan diberikan pelajaran yang bersifat praktikal mengenai berbagai macam budidya seperti kepiting soka, udang, sidat, bandeng, kerang, dll. Kami para mahasiswa KKN PPM UGM yang sedang menjalankan program selama dua bulan pun juga menjadi siswa dari sekolah alam ini. Sembari melaksanakan kegiatan pemberdayaan kepada masyarakat, juga mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat.


Salah satu pelajaran berharga dari semua proses ini adalah statement pak Mashadi;  “disini tidak ada yang namanya Super-Man, yang ada adalah Super-Tim”, dari situ kita dapat belajar bahwa untuk melakukan sebuah perubahan dengan berbagai inovasi, peran, dan kerjasama tiap individu dalam sebuah kelompok sangat dikedepankan. Meskipun ada tokoh penggerak yang memiliki peran sentral, namun kerjasama tim menjadi penentu keberhasilan sebuah kelompok untuk melakukan perubahan kearah yang lebih baik.

Atas konsistensinya bergerak di lingkungan sejak Tahun 2005 samapi sekarang, mampu melakukan kreativitas dan inovasi kegiatan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam lokal, sumber daya manusia di sekitar lokasi kegiatan, serta komunitas masyarakat lainnya, pak Mashadi akhirnya menerima penghargaan Kalpataru pada tahun 2015. Kemampuan untuk berkolaborasi dengan segenap elemen masyarakat dari berbagai kalangan dalam mengerakan kegiatannya seperti, pemerintah, kelompok basis, LSM Nasional maupun Internasional, Perguruan Tinggi, Pelajar, Masyarakat Seniman dan budayawan sekitar lokasi kegiatan. Juga menggerakan kegiatan ekonomi masyarakat lokal dalam kegiatan rehabilitasi Mangrove.

Bagi pak Mashadi, perjuangannya belum berakhir, meski telah menerima penghargaan Kalpataru, tujuan akhir yang ingin dicapainya adalah mengubah hidup masyarakat pesisir Brebes lebih baik. Ke depan, ia berkeinginan Dukuh Pandansari yang menjadi tempat pengabdiannya itu menjadi kampung wisata mangrove yang melingkupi wisata edukasi, penelitian, ekologi, dan akuakultur, dengan mengutamakan kearifan lokal dan budaya setempat. Dan tujuan itu mulai mengarah pada kenyataan dengan adanya wisata mangrove dan sekolah alam yang telah dibangun. Sedikit demi sedikit, secara perlahan, mimpi itu akan mulai terwujud.

Lalu bagaimanakah peran pemerintah?
Ya, ini menjadi pertanyaan dan tantangan bagi pemerintah. Upaya penyelamatan wilayah pesisir di kabupaten Brebes terutama di dusun Pandansari ini banyak dilakukan secara mandiri oleh masyarkat yang bergerak bersama-sama dalam paguyuban Mekarsari. Kerjasama banyak dilakukan malah dengan pihak-pihak non-pemerintahan. CSR perusahaanlah yang banyak berdatangan untuk ikut membantu upaya penyelamatan lingkungan ini. Beberapa diantaranya adalah perusahaan besar asal Jepang yakni Toshiba dan Tokiomarine Asuransi, selain itu juga ada Organization for Industrial Spiritual & Cultural Advencement (OISCA) yang turut serta membantu upaya masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan dan menjadikan dusun Pandansari sebagai kawasan konservasi mangrove. Pemerintah memang menjadi fasilitator bagi perusahaan dan lembaga yang ingin turut serta dalam pembangunan, namun harusnya pemerintah juga dapat lebih ikut turun tangan secara langsung dalam upaya yang telah dilaksanakan oleh masyarakat.
Proyek pembangunan tracking mangrove yang didanai oleh Pemkab Brebes


Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat melalui Kementrian Lingkungan Hidup memang telah memberikan sokongan pada masyarakat untuk upaya penyelamatan lingkungan di dusun Pandansari ini. Pemkab Brebes melalui Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga telah menggelontorkan dana 1,971 miliar untuk pembangunan tracking mangrove. Selain itu beberapa kapal penyeberangan yang digunakan untuk menuju wisata mangrove juga dibeli dengan dana dari Kementerian Lingkungan Hidup. Program lain dari Direktorat Pesisir dan Laut dibawah Kementerian Lingkungan Hidup berupa program kegiatan rehabilitasi pesisir, rehabillitasi pesisir utara jawa, pembangunan hybrid engineering, dan rehabilitasi sumber daya hayati. Semuanya didanai dari APBN pusat.
Perlu menjadi catatan adalah, bahwa pemerintah baru mau turun tangan setelah masyarakat membangun dengan susah payah dari awal. Setelah mulai tampak sebuah tanda-tanda keberhasilan, pemerintah baru mulai melirik upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat yang mulai membangun dan menyelamatkan lingkungan sejak tahun 2006-an, baru beberapa tahun belakangan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Tentu ini harus menjadi bahan refleksi bagi pemerintah. Harusnya pemerintah mengawal dan memberikan dukungan sejak awal ketika masyarakat mulai bergerak. Hal ini dapat dilakukan dengan penguatan kapasitas yang dapat berupa pemberian pelatihan kepada masyarakat untuk bisa berdaya dalam upaya penyelamatan lingkungan. Pada sisi yang lebih konkrit lagi pemberian bantuan materil secara fisik. Sehingga masyarkat benar-benar dapat merasakan kehadiran negara yang harusnya memberikan pelayanan dan pemberdayaan.
Agaknya kita belajar bahwa orang-orang yang mau bergerak untuk pengabdianlah yang mampu menggugah pemerintah untuk mau melirik persoalan yang kadang tidak dijadikan priorotas dalam pembangunan. 


“Yang saya lakukan semata-mata untuk menyelamatkan bumi tempat kita hidup”  (Mashadi)

Tulisan ini terinspirasi dari pelaksanaan program KKN PPM UGM 2016 unit JTG-09 Desa Kaliwlingi, Brebes, Jawa Tengah.
Referensi :
Rhonda Phillips, Robert H. Pittman, An Introduction to Community Development, Routledge, 2009
Warta KEHATI, edisi November 2012 – Januari 2013
http://jatengprov.go.id/id/newsroom/mashadi-peraih-kalpataru-2015

http://brebesnews.co/2014/10/tahun-2015-sawojajar-dan-kaliwlingi-jadi-tempat-wisata-mangrove/
sumber video : https://www.youtube.com/watch?v=BNdpUZuIWJk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By